Lihat ke Halaman Asli

Konsumsi Batubara di Indonesia

Diperbarui: 27 Maret 2023   08:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PLTU Paiton - Sumber: PLN

Hingga saat ini, batubara masih menjadi bahan bakar utama bagi sebagian besar pembangkit listrik di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki 253 PLTU hingga 20 April 2022. PT PLN Energi Primer Indonesia, subholding PT PLN (Persero), memproyeksikan kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) pada 2023 mencapai 161,2 juta ton. Namun, batubara memiliki masalah besar yang perlu segera ditangani.

Salah satu masalah terbesar dari batubara adalah emisi hasil pembakarannya. Batubara melepaskan gas karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4) pada saat dibakar. Kedua senyawa ini termasuk gas rumah kaca (GRK) yang bisa meningkatkan suhu bumi dan menyebabkan perubahan iklim. Apabila aktivitas pembakaran batubara terus dilanjutkan, maka dampak negatif yang dihasilkan akan sangat besar. Emisi gas rumah kaca Indonesia sebesar 259,1 juta ton CO2 pada 2021 dan diproyeksi meningkat 29,13% menjadi 334,6 juta ton CO2 pada 2030. Sedangkan, pada tahun 2015, negara-negara di seluruh dunia termasuk Indonesia telah menandatangani kesepakatan  untuk memerangi perubahan iklim dan mengurangi emisi gas rumah kaca di Perjanjian Paris. 

Batubara - Sumber: Forbes

Penyebab utama konsumsi batubara yang masih tinggi di Indonesia adalah kurangnya infrastruktur. Agar dapat mengurangi emisi karbon, diperlukan infrastruktur penghasil energi baru terbarukan (EBT) untuk menggantikan PLTU seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Menurut laporan PLN, pada tahun 2021 Indonesia memiliki 421 unit pembangkit listrik energi terbarukan dengan total kapasitas terpasang 4.189 megawatt (MW). Angka ini masih sangat rendah jika dibandingkan dengan konsumsi listrik per kapita di Indonesia yang mencapai 1.123 kilowatt hour (kWh) pada 2021. Nyatanya, infrastruktur penghasil EBT di Indonesia masih sangat jauh dari kebutuhan listrik total Indonesia.

Konsumsi batubara yang masih sangat sangat signifikan di Indonesia memiliki akibat yang sangat buruk terhadap lingkungan dan kesehatan.  Gas rumah kaca yang diproduksi pembakaran batubara dapat menyerap radiasi inframerah dari permukaan bumi dan mempertahankan suhu yang cukup hangat di permukaan planet. Dampak peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi antara lain: naiknya permukaan laut, perubahan iklim, dan hilangnya biodiversitas. Suhu rata-rata permukaan Bumi yang melebihi batas normal menyebabkan es di kutub utara mencair dan permukaan laut naik. Selain itu, kenaikan suhu ini juga bisa meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan badai tropis. Lalu, fenomena ini juga bisa mengancam keanekagaraman hayati atau biodiversitas dengan menggeser habitat dan menganggu kondisi-kondisi kehidupan mereka seperti suhu dan cuaca. Selain itu, peningkatan emisi gas rumah kaca dapat menyebabkan peningkatan polusi udara yang berbahaya bagi kesehatan manusia, termasuk partikel halus, ozon, dan nitrogen dioksida. Polutan udara ini dapat menyebabkan masalah pernapasan, termasuk asma dan bronkitis, serta meningkatkan risiko terkena penyakit jantung dan paru-paru. Maka, konsumsi batubara di Indonesia harus segera ditangani.

PLTA Tangga - Sumber: BUMN

Agar dapat mengurangi konsumsi batubara di Indonesia, dibutuhkan pembangunan infrastruktur penghasil energi baru terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Sementara ini, pemerintah menyiapkan solusi berupa skema perdagangan karbon (cap and trade) dan skema pajak karbon (cap and tax). Pada dasarnya, solusi ini hanya mempersulit produsen energi fosil dengan menambah biaya produksi bagi mereka. Tetapi, solusi yang diberikan tidak menawarkan sumber energi alternatif  yang bisa memenuhi kebutuhan energi Indonesia. Agar Indonesia bisa mencapai Net Zero (emisi karbon 0%), dibutuhkan pembangkit listrik yang 100% berupa energi baru terbarukan. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, puncak kebutuhan listrik pada tahun 2020 sekitar 31,5 GW (gigawatt) dan diperkirakan akan mencapai 100 GW pada tahun 2030. Sedangkan, berdasarkan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, diproyeksikan total tambahan kapasitas pembangkit adalah 40,575 Gigawatt (GW), dengan porsi pembangkit EBT sebesar 20,923 GW atau 51,6% dan porsi pembangkit fosil sebesar 19,562 GW atau 48,4%. Apabila porsi pembangkit EBT hanya sebesar 20,923 GW ditambah 7,545 GW yang sudah ada, jelas kapasitasnya akan tidak cukup. Oleh sebab itu, pemerintah harus menambah investasi pembangunan infrastruktur penghasil EBT secepatnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline