Lihat ke Halaman Asli

Hans Hayon (Yohanes W. Hayon)

Penulis Isu-Isu Demokrasi, Ekonomi-Politik, dan Keamanan

Membubarkan Kaum Muda

Diperbarui: 7 Januari 2024   17:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: www.haymarketbooks.orggambar

Sesudah ambruknya World Trade Center (9/11), perang dimulai bukan hanya kepada terorisme tetapi juga kepada kaum muda sebagai terorisme domestik. Dalam konteks ini, jika musuh di luar negeri didefinisikan sebagaimana umat Islam lainnya, kaum muda semakin memperoleh status sebagai musuh di rumah, terutama pemrotes muda dan orang muda kulit berwarna.

Proses mengaburkan kaum muda sebagai basis perlawanan telah dimulai secara sistematis sejak neoliberalisme diterapkan sebagai sistem ekonomi dan politik di Eropa (Inggris) dan Amerika. David Harvey dalam A Brief History of Neoliberalism (2005) menulis bahwa sejak akhir 1970-an, telah terjadi intensifikasi di Amerika Serikat Serikat, Kanada, dan Eropa dari mode pemerintahan neoliberal, ideologi, dan kebijakan---periode sejarah di mana fondasi ruang publik demokrasi dibongkar. Akibatnya, sekolah, perpustakaan, taman umum dan alun-alun, dan manifestasi lain dari ruang publik telah dikepung, dipandang tidak menguntungkan bagi masyarakat yang digerakkan oleh pasar. Dalam masyarakat jenis ini, pemikiran kritis, dialog, dan keterlibatan kewarganegaraan dianggap sebagai ancaman terhadap sistem otoriter, ideologi, dan struktur kekuasaan, dominasi, dan kontrol. Di Indonesia, itu dapat ditemukan dalam pelunakan istilah dari kaum muda menjadi "generasi milenial, digital citizenship, generasi produktif", dan seterusnya.

Strategi Membubarkan Basis Perlawanan

Dengan membubarkan kaum muda (tentu saja juga kaum buruh) sebagai basis perlawanan, musuh neoliberalisme meluas lebih daripada sekadar perang melawan demokrasi semata. Akibatnya, pemuda bukan lagi tempat masyarakat mengungkapkan mimpinya. Sebaliknya, pemuda menjadi situs mimpi buruk masyarakat. Dalam narasi neoliberal, pemuda didefinisikan secara oportunistik dalam simbol yang kontradiktif, baik sebagai konsumen pasif pasar, kelompok orang yang menguras ekonomi, atau sebagai ancaman negara yang keras kepala.

Akibatnya, hari ini kita menemukan kenyataan memilukan bahwa anak muda sekarang tinggal di dunia dengan hampir semua aspeknya berada di bawah pengaruh pengendalian pasar, keadaan perang, utang, dan pengaruh tentakel National Security Agency (NSA) dan aparat pengawasan internasional. Seperti yang diungkapkan Michael Hardt dan Antonio Negri dalam Declaration (2012), "kaum muda hidup dalam masyarakat di mana setiap institusi menjadi sebuah 'rejim inspeksi'---merekam, mengawasi, mengumpulkan informasi, dan menyimpan data (halaman 20). Maksudnya adalah bahwa bayangan penjara tidak lagi terpisah dari masyarakat sebagai sebuah institusi mandiri. Sebaliknya, pengawasan total telah dinormalisasi menjadi kondisi umum dalam masyarakat secara keseluruhan.

Perang terhadap kaum muda sebenarnya bukan hanya hasil dari kebijakan neoliberal untuk melindungi keamanan dan kesejahteraan 1% orang di dunia, melainkan sebagai apa yang yang ditunjukan oleh C. Wright Mills dalam Power of Elite (2000). Dengan menjadikan Amerika sebagai ilustrasi, Mills menunjukkan bahwa perang itu bagian dari "metafisika militer" ---sebuah kekuatan kompleks yang terdiri atas perusahaan, industri pertahanan, politisi, institusi keuangan, dan universitas (halaman 222). Perang jenis ini akan memberikan pekerjaan, keuntungan, imbalan politik, dana penelitian, dan bentuk-bentuk kekuatan politik dan ekonomi yang menjangkau setiap aspek masyarakat.

Lalu apa yang harus dilakukan?

Jawabannya tulisan ini selalu sama dari dulu: rumuskan agensi politik di berbagai bidang. Dalam bidang pendidikan, kita mesti punya menteri pendidikan yang visioner dan tahu jenis musuh apa yang sedang dihadapi oleh generasi muda Indonesia saat ini terutama anak-anak atau adik-adik atau teman-teman kita yang sedang duduk di bangku sekolah. Dalam bidang politik, kita mesti mampu merebut parlemen dan mengisi lembaga itu dengan wakil kita yang tahu membedakan antara kepentingan publik (termasuk konstituen) dan kepentingan korporasi; dan seterusnya, dan seterusnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline