Lihat ke Halaman Asli

Dari Nietzsche dan Nihilisme ke Wacana "Autosuperamento"

Diperbarui: 14 Oktober 2017   03:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 (Analisis Semantis Puisi-puisi Kristo Suhardi)

Mengenal Kristo Suhardi

Kristo Suhardi (Lahir di Ruteng, 2 Mei 1988) menaruh minat pada dunia sastra semenjak belajar di Seminari Menengah Pius XII Kisol, Manggarai Timur (2001-2007).  Setelah menamatkan Sekolah Menengah Atas, ia lalu belajar filsafat di STFK Ledalero (2009-2013). Selain menulis puisi, ia juga gemar menulis cerpen dan membuat beberapa tafsiran singkat filosofis atas beberapa karya sastra. Saat ini Kristo sedang bekerja di Harian Umum Flores Pos Ende, sebagai Wartawan dan Editor. 

Kristo merampungkan studi filsafatnya di Ledalero setelah menyelesaikan skrispinya yang berjudul "Memahami Seksualitas Manusia dalam Eleven Minutes Paulo Coelho". Skripsi ini merupakan salah satu upayanya untuk membaca, menafsir, dan menelaah karya sastra dari perspekstif filsafat. Beberapap penyair besar yang begitu dikaguminya antara lain Kahlil Gibran, Paulo Coelho, dan Joko Pinurbo. Dalam artikel ini, saya ingin mengulas dua buah puisi (Ziarah I dan Ziarah II) yang pernah dijuarainya pada ajang menulis puisi tingkat STFK Ledalero.

Nietzsche: Kematian Allah

Frederich Nietzsche, salah seorang filsuf Postmodernisme, penggagas "kematian Allah" merupakan pintu masuk dalam memahami puisi-puisi Kristo Suhardi, khususnya menggugat hakekat iman Katolik. Catatan historis menjelaskan bahwa Nietzsce hadir sebagai "seorang nabi", menerobos moralitas kristen yang terlampau memiskinkan proses aktualisasi diri manusia. Agama menjadi biang kemunduran kreativitas manusia, yang pada akhirnya menghantar manusia pada kemandulan jati diri. 

Manusia, oleh karena agama, bergerak dan berekspresi di bawah kedaulatan absolut konsep Allah. Dengan kata lain, extra ecclesia nulla salus, di luar gereja tidak ada keselamatan. Untuk keluar dari kondisi 'sesat' ini, manusia perlu membunuh Allah. Hanya dengan begitu, manusia mampu berkembang dan bertumbuh secara otonom tanpa alibi "proyek iman" yang superorganik (diwariskan secara turun-temurun dari kecil). Allah perlu dibunuh demi perwujudan diri manusia yang absen intervensi mutlak dari realitas transenden serentak abstrak tersebut.

Ketika Allah telah mati, dan manusia ketiadaan patokan moralitas yang universal, kehidupan berjalan secara bebas tak terkendali. Manusia kehilangan dasar, orientasi, dan pegangan hidup. Manusia kehilangan horizon. Bumi dan matahari tidak berputar dengan arah sebagaimana biasa, seolah-olah mengaduk manusia ke atas ke bawah, ke depan ke samping. Tidak ada lagi arah yang persis karena semuanya tersesat dalam ketiadaan berhingga. 

Semuanya gelap pekat. Lalu dalam situasi demikian, terpaksa manusia harus bangkit menata dunia, suatu ajaran hidup dan citra manusia tanpa Allah lama. Segala sesuatu harus direkonstruksi mulai dari filsafat, moral, kesenian, ilmu pengetahuan, dan politik. Singkatnya, harus diusahakan suatu Umwertung aller Werte yaitu transvaluasi semua nilai. 

Hanya dengan demikianlah, manusia luput dari kehancuran akibat nihilisme. Dengan cara ini, manusia sanggup merombak seluruh tatanan moral dan iman Katolik, yang hemat Nietzsche, tersembunyi dalam oportunisme terparah. Tatanan moral Katolik dinilai sedang sakit dan sedang tertidur dalam kemunafikan. Penghayatan iman tidak lagi otentik karena agama sering menjadi suatu cara hidup yang rumit dengan aturan-aturan tabu bahkan kadang-kadang disamakan dengan khayalan-khayalan suci yang tidak menyentuh realitas. Saya pikir demikianlah kerinduan dasariah yang ingin diangkat dalam kedua puisi Kristo.

Nihilisme: Pasca Kematian Allah

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline