Indonesia, bangsa yang tidak pernah belajar dari sejarah?
Pada tahun 1918 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Haatzaai Artikelen. Haatzaai Artikelen adalah peraturan yang berisi ancaman hukuman terhadap siapa pun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap pemerintah Nederland atau Hindia Belanda (pasal 154 dan 155) dan terhadap sesuatu atau sejumlah kelompok penduduk di Hindia Belanda (pasal 156 dan 157). Dimaksudkan dengan kelompok-kelompok penduduk adalah penduduk berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keturunan, dan suku.
Jiwa dan semangat dari peraturan tersebut adalah untuk mengkebiri hak-hak sipil. Ketidakmampuan kolonial Belanda menghadapi tren kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat di media pada masa itu, memaksa mereka mengeluarkan peraturan tersebut dengan dilengkapi pasal-pasal karet.
Peraturan tersebut sebenarnya sudah hampir mati tetapi dihidupkan kembali oleh para segelintir elit republik ini. Setelah hampir satu abad, peraturan itu muncul bangkit kembali dari kuburnya. Zombie yang bernama Surat Edaran (SE) Ujaran Kebencian (Hate Speech). Dan tentunya tidak ketinggalan pasal-pasal karet yang melengkapinya.
Pertanyaannya adalah: Kenapa Zombie ini dibangkitkan lagi dari kuburnya?
Pasti lo masih ingat dengan meme satu ini saat riuh rendah #savekpk tentang "Ini Budi"
Sekarang dengan adanya SE ini, dipastikan si pembuat meme bisa langsung ditangkap. Sama seperti nasib seorang office boy sebuah bank di Ponorogo Jawa Timur. Imelda Syahrul akhirnya diciduk karena membuat meme seorang polantas bernama Bripda Aris Kurniawan. Bayangkan cuma pangkat bribda aja lo bisa ditangkap, apalagi buat meme Jendral. Bisa-bisa lo bernasib sama seperti pedofil yang diusulkan akan dihukum kebiri.
Para jendral, politisi dengan pola pikir masa kolonial dan mental inlander inilah yang paling bersemangat dengan SE Ujaran Kebencian. Mengapa? Karena mereka adalah pihak yang paling sering di bully di medsos. Padahal kalo boleh jujur, mereka di bully karena tindak tanduk mereka sendiri. Tingkah polah mereka justru yang menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk membuat tulisan/meme/video tetapi herannya hal tersebut dapat diterjemahkan/dituduh sebagai hate speech.
Sebagai penutup John Stuart Mill (1806 – 1873) menjelaskan pentingnya kebebasan berbicara/berpendapat di dalam karya klasiknya, On Liberty (1859). Tanpa kebebasan berbicara kebenaran akan hilang, tidak pernah ditemukan atau melemah. Kebebasan berbicara adalah penting, sekalipun tidak ada kebenaran yang harus ditemukan.
Pasal Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia juga menjelaskan: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas”.