Lihat ke Halaman Asli

Untold Story of Marco (Kisah Tragis Terpidana Mati Kasus Narkoba)

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14216812232124387716

Sebenarnya gua adalah orang yang sangat mendukung kebijakan-kebijakan tegas Jokowi. Salah satu contohnya adalah menenggelamkan kapal-kapal illegal fishing. Tetapi untuk hukuman mati adalah hal yang berbeda. Mereka (para terpidana mati) adalah manusia-manusia yang memiliki hati dan perasaan bukan benda mati yang bisa diledakkan, ditenggelamkan begitu saja seperti kapal. Bukan seperti tontonan demonstrasi pesta kembang api kapal tenggelam diiringi oleh gelak tawa, sorak sorai dan senyum bangga setelah melakukan eksekusi. Ini adalah peristiwa kemanusiaan bapak Presiden yang terhormat.

Adalah Marco Archer Cardoso Moreira (53) WN Brazil yang mengalami nasib yang naas, tragis dan hidupnya berakhir di depan regu tembak tanggal 18 Januari 2014. Lalu bagaimana cerita Marco sebenarnya?

Cerita Marco gua dengar langsung dari teman gua yang melakukan kunjungan sosial ke lapas di Nusakambangan dan bertatap muka dengan Marco selama tahun 2014. Banyak yang diceritakan almarhum termasuk untold story yang akan gua ceritakan dibawah ini.

Marco ditangkap di Soekarno Hatta bulan Agustus 2003 karena membawa 13,4 kg kokain. Sebenarnya pengakuan Marco kepada teman gw, dia membawa 20 kg kokain. Lalu pertanyaannya, kemana sisa 6,6 kg kokainnya? Kok bisa paket kokain berisi 20 kg menguap lalu tiba-tiba tinggal 13,4 kg setelah disita aparat. Marco hanya bisa geleng-geleng kepala dengan kelakuan oknum aparat penegak hukum Indonesia. Tetapi bagi kita orang Indonesia sudah menjadi rahasia umum oknum aparat biasa menjual kembali barbuk (barang bukti). Jadi pertanyaannya adalah, mungkin selama ini kita menganggap Marco adalah penjahat tapi siapa sebenarnya penjahatnya?

Profesi Marco adalah seorang pilot. Suatu hari ia mengalami kecelakaan gantole di Bali sehingga ia harus dirawat di Singapore. Karena kecelakaan tersebut menyebabkan banyak tulangnya patah maka tubuh Marco di penuhi oleh plat-plat. Karena biaya pengobatan yang mahal tersebut Marco jatuh bangkrut dan terlilit hutang. Sama seperti kasus Sri (WNI yang tertangkap di Brazil membawa 8 kg kokain  http://travel.kompas.com/read/2009/03/03/08564655/sri.dari.penjara.brasil.ke.cileungsi). Marco terjerat hutang menjadi kurir narkoba. Marco seorang yang berprofesi sebagai pilot bukan orang yang mencari uang haram sebagai anggota sindikat. Marco berkata, “Saya bukan pemakai, saya bukan bandar narkoba. Saya juga bukan anggota sindikat. Buktinya saya menghadapi seorang diri 10 tahun di penjara ini.” "Saya hanya salah langkah, berharap mendapat kesempatan untuk bebas dan menebus kesalahan saya" lanjutnya. Waktu sidang di pengadilan tidak ada satu hakim pun yang menggubris pembelaannya lalu ia divonis hukuman mati. Begitu juga upaya grasinya ditolak oleh Jokowi tanpa melihat sisi kemanusiaannya. Kalo hakim-hakim di Brazil melihat bahwa Sri pantas mendapat kesempatan kedua dan memperbaiki hidupnya menjadi lebih baik ternyata Presiden Jokowi tidak.

Selama 10 tahun dipenjara Marco sangat menderita. Bayangkan plat diseluruh tubuhnya tidak pernah mendapat perawatan yang memadai. Setiap hari Marco berusaha menahan rasa nyeri dan nyilu seluruh tulangnya. Sambil berlinang airmata ia menceritakan satu-satu anggota keluarganya meninggal selama ia di penjara. Ibunya meninggal, kemudian ayahnya lalu disusul kakaknya di Brazil. Marco mengalami stress berat. Ia terlihat banyak berbicara dengan monyet yang ada di pekarangan lapas. Bahkan dia sudah menganggap dirinya sendiri monyet. Penyesalan yang sangat mendalam mengakibatkan Marco mengalami depresi.

Teman-teman sel di Nusakambangan menganggap Marco sebagai pribadi yang menyenangan walaupun mengalami depresi. Setiap pagi mereka selalu mendengar Marco menyanyi kecil. Mendatangi mereka dengan wajah yang lucu, guyonan yang menghibur. Setidaknya dengan kehadiran Marco mereka merasa menjalani hukuman penjara menjadi lebih mudah. Itulah kesan yang sangat mendalam bagi mereka sebagai rekan sesama narapidana di Nusakambangan.

Suatu hari ada rombongan yang datang ke lapas mengaku sebagai anggota keluarga Marco. Ternyata yang datang adalah tim yang akan mengisolasi Marco sebelum eksekusi. Menurut cerita teman-teman di lapas, Marco sangat ketakutan. Marco sampai terkencing-kencing karena begitu takutnya. Dia berpikir akan dieksekusi hari itu. Seorang temannya sesama narapidana menawarkan diri untuk mengganti celananya yang sudah basah tapi dilarang dengan kata-kata kasar oleh salah satu aparat. Sebuah tindakan yang sangat tidak manusiawi. Setelah memenjarakannya selama 10 tahun tanpa perawatan memadai terhadap plat-plat di tubuhnya, mengalami depresi berkepanjangan, diisolasi dengan tidak manusiawi bahkan diakhir hidupnya Marco pun tidak dapat bertemu rohaniawannya. Jadi jangan berharap seperti di film dimana terpidana mati mendapat perlakuan baik dengan menghormati permintaan-permintaan terakhirnya. Di Indonesia perlakuannya jauh dari kata kemanusiaan.

Setelah membaca tulisan ini, gw berharap pembaca mengerti kenapa separuh negara di dunia ini menghapus hukuman mati untuk segala kejahatan. Dari tahun ke tahun semakin banyak negara yang meratifikasi anti hukuman mati bukan sebaliknya. Lalu kenapa Presiden Jokowi melakukannya??? Perang melawan narkoba???? Bukannya kalau perang melawan mafia yang pertama kali diperangi adalah aparat penegak hukumnya yang korup bahkan yang membekingi mafia narkoba. Mulai dari pangkat rendah, menengah dan tinggi yang terindikasi korupsi atau mempunyai rekening gendut (kekayaan tidak wajar) mencurigakan ditangkap bukannya dipromosikan.

Pertemuan teman gw terakhir dengan Marco di bulan Oktober sebelum Presiden Jokowi mengumumkan menolak semua grasi terpidana mati kasus narkoba. Marco berkata kepada temen gw, “Don’t come for me for Christmas, I’ll be home in January”. Waktu mendengar kata-kata tersebut teman gw tertawa dan berpikir Marco sedang bercanda. Bagaimana seorang terpidana mati bisa bebas. Tetapi setelah 3 bulan kemudian perkataan itu menjadi kenyataan. Atas perintah Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengeksekusi Marco Archer Cardoso Moreira, Marco pun menepati kata-katanya, “…..I’ll be home in January”.

Mengapa kita membunuh orang yang membunuh

untuk menyatakan membunuh itu salah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline