Tahun 2018 yang telah kita lewati kemarin dapat dikatakan sebagai salah satu tahun sepakbola yang cukup unik. Mengapa? Sebab cukup banyak hal unik yang terjadi dalam dunia persepakbolaan, baik yang menggembirakan maupun menyedihkan.
Seperti Prancis Bersama tim "African majority" nya yang berhasil menjuarai piala dunia, kebangkitan tim-tim kecil seperti Islandia dan Kroasia, hingga kasus mafia sepakbola Indonesia yang sedang hangat diperbincangkan saat ini, bahkan hingga memasuki tahun yang baru.
Hal unik lainnya yang terjadi dan cukup menarik perhatian jagat sepakbola dunia ialah isu rasisme yang kembali mencuat, bahkan meningkat di tahun 2018 kemarin. Sebut saja masalah sebutan "imigran" yang bernuansa hinaan kepada Mezut Ozil sebagai respon kekecewaan publik sepakbola Jerman yang melihat timnya "melempem" di piala dunia 2018 atau kasus terbaru yang menjerat Kalidou Koulibaly.
Pemain Perancis keturunan Senegal yang dihina memakai sebutan dan gestur "kera" oleh supporter Inter Milan. Kedua kasus diatas memperlihatkan bahwa sepakbola belum terlepas dari isu rasisme, yang telah menjadi perhatian utama di jagat sepakbola bahkan kemanusiaan dewasa ini.
Untuk diketahui masalah rasisme dalam sepakbola bukan hanya berkaitan dengan masalah ras saja, melainkan juga agama, suku, etnis, bahkan identitas politik dalam lapangan sepakbola.
Hal ini tidak bisa dikatakan sebagai masalah internal sepakbola, melainkan erat kaitannya dengan isu-isu global lainnya di luar lapangan seperti politik internasional, budaya, ekonomi, bahkan permasalahan identitas.
Oleh karena itu, penting rasanya untuk melihat hal ini dalam dua lingkaran maslah yang paling mempengaruhi, yaitu antara masalah fanatisme sepakbola dan masalah sosial manusia di dalam maupun luar lapangan.
FANATISME SEPAKBOLA: IKATAN SOSIAL YANG BERUJUNG EKSKLUSI SOSIAL.
Harus diakui fanatisme sepakbola ialah salah satu ikatan sosial paling kuat saat ini. Ikatan sosial tersebut mampu melampaui sekat-sekat identitas dan mampu meleburkan banyak hal dalam satu ikatan psikologis antar manusia, maupun ikatan sosial antar sub-kelompok dalam satu bingkai besar bernama "supporter sepakbola".
Ikatan ini pada beberapa hal bisa dikatakan baik, sebab banyak hal positif yang dapat digali dan diperkuat seperti meleburkan konflik sosial, rasa saling memiliki berbasis tim yang didukung, dll.
Tetapi harus diingat pula bahwa dengan kuatnya identitas sosial berbasis supporter sepakbola ini, akan melahirkan suatu identitas baru berbasis tim sepakbola yang didukung. Dalam kelompok yang umumnya fanatik ini, eksklusivitas antar kelompok kembali muncul, terutama kepada pendukung tim yang memiliki "rival abadi" seperti dua tim se-kota, sejarah pertemuan yang panas, dll.