Lihat ke Halaman Asli

Hanry Harlen

Agnostik

Mengapa Identitas Agama Menjadi Komoditas Berita yang "Laris"?

Diperbarui: 9 Oktober 2018   13:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: www.aceh.tribunnews.com

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA FENOMENA PUBLIC PIETY DAN KAPITALISASI BERITA DI INDONESIA

Beberapa hari lalu, media di Indonesia, terutama media online seakan booming dengan pemberitaan mengenai Miftahul Jannah, salah satu atlet judo Indonesia di ajang Asian Paragames yang di diskualifikasi karena menolak melepas hijab pada pertandingan Judo kelas wanita di ajang tersebut. Dalam pemberitaan yang beragam tersebut, ada satu hal yang menjadi inti pemberitaan, yaitu hijab dan diskualifikasi.

Hal ini tentu akan menarik banyak perhatian masyarakat, terutama karena berkaitan dengan identitas keagamaan di ruang publik, aturan yang dianggap diskriminatif (terutama kepada kelompok agama tertentu), dan event olahraga itu sendiri yang diikuti oleh penyandang disabilitas.

Pada momen yang sama, pemberitaan global mengenai kemenangan Khabib Nurmagomedov, salah satu atlet muslim berkebangsaan Russia yang berhasil merebut sabuk bergengsi di ajang UFC setelah mengalahkan salah satu petarung ternama dunia, Connor McGregor secara TKO. 

Kemenangan Khabib yang fenomenal ini menjadi sangat laris di media online Indonesia karena latar belakangnya yang ialah seorang Muslim taat, dan diskriminasi yang dialami dirinya oleh Connor dan banyak orang mengenai agamanya baik secara verbal maupun perlakuan.

Kedua berita di atas, memperlihatkan suatu fenomena yang lazim di Indonesia, yaitu identitas agama, diskriminasi, dalam hubungannya dengan mempertahankan identitas di ruang publik. Bagi kelompok agama tertentu, Muslim misalnya, kedua orang tersebut merupakan "pahlawan" bagi identitas agama mereka. Iya, benar memang, dan tidak ada salahnya menjadikan mereka contoh baik dalam hal prinsip yang dipegang.

Tetapi, mari kita lihat ini dari sisi yang berbeda, dalam hal ini mengenai bagaimana media membingkai hal hal mengenai agama (serta identitas lainnya) sebagai komoditas berita yang sangat laris dalam pasar berita Indonesia.

Kapitalisasi Media dan Berita : Merepresentasikan yang "Ideal" sebagai Komoditas

Secara eksplisit, dapat dikatakan bahwa media ialah jembatan penghubung antara masyarakat, dan fakta yang terjadi. Masalahnya, tidak sedikit pula media yang menjadikan "paradigma" masyarakat sebagai objek pemberitaan. Maksudnya ialah, media memberitakan apa yang mau didengar oleh masyarakat demi respon positif dari mayoritas pembaca berita karena dianggap "memihak" kepada pembaca.

Hal ini erat kaitannya dengan apa yang saya sebut sebagai "kapitalisasi media", yaitu fenomena dimana media mengikuti kemauan pasar dalam memberitakan sesuatu, sehingga apa yang dibaca oleh masyarakat ialah pemberitaan yang sesuai dengan kemauan mereka. Sederhananya, demi kepentingan ekonomi, popularitas dan rating yang tinggi, berita tidak harus berimbang, cukup mengikuti selera pasar, maka popularitas sudah dapat digapai.

Sebuah pertanyaan muncul, mengapa agama yang menjadi komoditas berita yang sangat laris? Jawabannya sederhana. Indonesia sedang memasuki era "public piety" secara massif, baik oleh kelompok mayoritas, bahkan juga minoritas. Public piety yang dimaksud disini ialah kesalehan agama yang tercermin di ruang publik, seperti berpakaian yang agamis, ajaran agama menjadi standar moral suatu masyarakat, bahkan dalam konteks masyarakat yang plural, dll. Hal inilah yang Peter Berger maksud dengan kegagalan sekularisasi, sehingga agama tetap bisa eksis di ruang publik, bahkan di ruang politik-demokratis  (Berger, 2008).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline