Pendidikan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 31 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, maka dari itu Indonesia menggagas wajib belajar 12 tahun untuk warga negaranya yang digagaskan pada tahun 2015 silam, di mana hal tersebut berarti masyarakat Indonesia akan mengenyam pendidikan minimal sampai pada tingkat Sekolah Menengah Atas atau sederajat.
Namun, data statistik pada tahun 2022 silam mengungkap kenaikan beberapa persen angka pada kasus anak putus sekolah yang mana secara rinci, angka putus sekolah jenjang SD mencapai 0,13 persen pada 2022, meningkat 0,01 persen dibandingkan 2021 yang sebesar 0,12 persen, pada jenjang SMP, angka putus sekolah tercatat sebesar 1,06 persen pada 2022, atau naik 0,16 persen dari tahun sebelumnya 0,90 persen. Kemudian angka putus sekolah jenjang SMA mencapai 1,38 persen pada 2022 yang juga naik 0,26 persen dari tahun sebelumnya 1,12 persen.
Di samping itu, kealpaan pendidikan acap kali terasa di berbagai wilayah yang luput dari perhatian para pelaksana negara, masih sebagai keberadaan saja sudah bermasalah, bagaimana dengan idealnya? Lantas apabila pendidikan menjadi hal yang telah diraih oleh masyarakat, ke mana pendidikan dan hasilnya akan bermuara?
Pendidikan yang pada dasarnya menjadi bekal, terlepas untuk dan kepada siapa hal itu dimaksudkan, akan terus menjadi sebuah pembahasan yang berkepanjangan. Masyarakat secara umum memiliki pandangan terkait kepentingan dan keuntungan – pun dari pendidikan yang mereka laksanakan atau tidak. Hal ini menjadi menjadi penting untuk selalu dibahas mengingat adanya hak dan kewajiban yang menjadi dasar dari pelaksanaan distribusinya serta problema yang tak pernah usai seiring berkembangnya mobilitas dan kehidupan manusia.
Sebagai insan yang dibekali akal dan budi, menjalankan pendidikan merupakan salah satu langkah yang menggerakkan spiritualitas, di mana pemanfaatan terhadap keberadaan hal-hal tersebut menjadi selaras dengan sebagaimana mestinya. Pendidikan hadir sebagai ornamen yang memberi estetika terkait pendistribusian akal dan budi, yakni keberagaman dan fungsinya yang akan dirasakan langsung oleh masyarakat yang meraihnya.
Dewasa ini pendidikan bukan lagi sebagai sebuah pilihan, namun telah menjadi kepastian. Pendidikan dianggap seolah sebagai sarana yang menjembatani takdir perihal kehidupan seperti apa yang ingin kira dijalani untuk ke depannya. Mereka yang mengenyam pendidikan seakan telah meraih tiket emas dalam pasar tenaga kerja kelas atas dan sebaliknya, di mana pasar tenaga kerja mengupah berdasarkan tinggi rendahnya pendidikan yang telah diraih oleh pekerjanya. Hal tersebut merupakan salah satu dari dua kecenderungan terkait problema pendidikan saat ini, di mana penyesuaian sistem pendidikan yang semakin mencolok terhadap keharusan kegunaan negara, "monster terdingin dari semua monster dingin "(kutipan dari Zarathustra).
Di sisi lain, pendidikan tinggi seperti pelajaran bahasa dan sastra, atau beberapa kelas humaniora di universitas bagaikan pendidikan semu. Dikarenakan hal ini lebih tentang pengetahuan belaka, yang hanya dipakai untuk kepentingannya sendiri. Para murid dan mahasiswa tidak lagi diberi pendekatan budaya yang nyata – yang hanya akan memungkinkan mereka untuk secara aktif menghasilkan barang-barang budaya baru melainkan mereka harus mempelajari isi budaya sebagai bahan yang kurang lebih menarik dalam waktu sesingkat mungkin. 4-5 tahun merupakan waktu yang ringkas untuk menguasai hal demikian, untuk kemudian mungkin bisa memuntahkan hal-hal yang setengah matang dalam sains atau jurnalisme. Semua ini tetap tanpa referensi nyata untuk mereka yang mengenyam pendidikan tinggi di kelas sastra atau humaniora ke kehidupan nyata sebagaimana kritik Nietzsche terkait pola pendidikan semu.
Nietzsche tidak berasumsi bahwa individu tersebut adalah daun yang belum dideskripsikan yang dapat dibentuk sesuai keinginan saat lahir, melainkan sebanding dengan benih yang memiliki potensi intrinsik tertentu. Benih ini sekarang dapat tumbuh subur di lingkungan (tanah, cuaca, pupuk, tanaman tetangga, dll.) yang kurang lebih menguntungkan untuk pengembangan potensi intrinsiknya. Dalam keadaan yang menguntungkan, ia dapat tumbuh begitu besar sehingga bahkan melebihi potensi intrinsiknya; dalam keadaan yang tidak menguntungkan, ia tidak akan tumbuh atau layu sama sekali. Sebuah budaya menjadi lebih baik apabila kondisi yang diberikan bagi para anggotanya terpenuhi untuk mengembangkan potensi mereka dan hal tersebut bahkan melampaui menjadikan kondisi mereka semakin baik. Individu harus dapat mengakar dalam budaya dan tumbuh ke dalamnya sedemikian rupa sehingga mereka tidak dapat lagi dipisahkan darinya – dan kemudian, sebaliknya, mereka akan membantu budaya untuk mengembangkan potensi imanennya dan menjadi budaya yang benar-benar hebat. (AStA-Zeitung der Goethe-Universität Frankfurt am Main. (2014). Hendrik Simon. Erstveröffentlicht in der AStA-Zeitung der Goethe-Universität Frankfurt am Main, Ausgabe 2014/2, halaman 14-17)
Permasalahan yang terjadi belakangan ini adalah minimnya perhatian pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan terkait pembinaan agar individu atau masyarakatnya menjadi benih yang tumbuh hebat sebagaimana kritik Nietzsche di atas, yang kemudian hal tersebut menjadi ketidak teraturan dan masalah struktural yang terjadi. Berapa banyak ‘penyimpangan’ kerja yang mungkin kita semua pernah lihat atau sadari di lingkungan kita? Adakah penanggulangan hal terkait yang dilakukan oleh pemerintah dan negara? Lantas bagaimana dengan masyarakatnya?
Di satu sisi Pendidikan selalu didasarkan pada otoritas atau dominasi. Hal itu selalu menimbulkan interaksi yang saling bertentangan antara individu dan budaya, sehingga keduanya tak dapat berkembang sepenuhnya. Kita mungkin harus dipaksa untuk mengembangkan potensi kita. Secara khusus, pendidikan tidak dapat ditentukan sendiri: pada akhirnya, ini bukan tentang pengerasan, tetapi tentang mengatasi subjektivitasnya sendiri dalam arti kesewenang-wenangan.
Oleh karena itu, Nietzsche menolak individualisme atau subjektivisme modern dan egalitarianisme modern (baik dalam bentuk sosialis, liberal, atau otoriternya). Keduanya saling terkait, karena jika setiap orang sama-sama menginginkan dan harus menjadi individu yang absolut, maka hanya individualitas semu yang muncul darinya. (AStA-Zeitung der Goethe-Universität Frankfurt am Main. (2014). Hendrik Simon. Erstveröffentlicht in der AStA-Zeitung der Goethe-Universität Frankfurt am Main, Ausgabe 2014/2, halaman 14-17)