Awal tahun 2017 diwarnai dengan hengkangnya "Bapak Kompasiana", Pepih Nugraha, ke grup sebelah. Kepergian Pepih yang digantikan Iskandar Zulkarnaen atau dikenal dengan Isjet mau diakui atau tidak adalah sebuah pukulan untuk Kompasiana. Kompasiana yang sempat diserempetkan dengan nama Pepihsiana adalah hasil inkubasi yang cukup lama. Jadi, Pepih adalah founder dari Kompsiana, dan seorang founder adalah "roh" dari yang dirintis.
Steve Job dengan Apple, Bill Gates dengan Microsoft, Mark Zuckerberg dengan Facebook, seharusnya Pepih dengan Kompasiana. Tapi sayang, mimpi itu putus ditengah jalan. Pepih akan mulai lagi dengan mimpi yang baru, sementara Kompas akan menentukan nasib Kompasiana.
Sejak awal bergabung dengan Kompasiana, saya prediksi bahwa konsep Context is a King tanpa mengindahkan platform/aplikasi secara strategis memiliki entry barrier yang sangat rendah. Sebab itu seharusnya Kompasiana berbenah secara platform dan inovasi, tapi apa lacur, bertahun-tahun Kompasiana dibiarkan tanpa perbaikan yang berarti. Eksistensi Kompasiana terbukti hanya "nebeng" nama Kompas.
Inilah yang membuat pertanyaan, "Mengapa Kompas tidak mengembangkan Kompasiana?" Kompas grup dengan dana yang yang lebih dari cukup untuk memperbaiki Kompasiana terlihat enggan mengucurkan investasi untuk memperbaiki platform. Tulisan BETA yang sudah ada dalam 2 tahun terakhir dan tidak pernah ada perubahan rasanya adalah sebuah pelecehan terhadap pengguna setia Kompasiana.
Bagi netizen amatir seperti saya, yang paling penting adalah tulisan dibaca orang banyak. Semakin banyak semakin baik. Sebab itu platform mana yang dipilih adalah platform yang bisa menjadi etalase yang lebih baik. Sama dengan memilih BukaLapak, OLX, atau Tokopedia atau memakai domain pribadi, semua adalah pilihan yang didasarkan tujuan. Kalau seorang user mau jual barang tidak perduli yang mana, yang penting kejual cepat, dan harga bagus. Jadi sangat praktis.
Tanpa inovasi di platform dan aplikasi, maka Kompasiana hanya akan menjadi "forumnya Kompas" dan itu sangat disayangkan. Potensi yang besar dimatikan hanya karena tidak mau dikanibal anak sendiri?
Ketika dunia sudah bergerak ke user-generated news, Kompas sang raksasa masih terlalu angkuh untuk mengakuinya. Sejarah mencatat Friendster yang hebat pun dihabiskan Facebook, Netscape kemudian IE yang hebat pun dipermalukan Chrome, apalagi Yahoo yang sudah menyerah dengan Google. Perubahan akan sampai kesana, sekarang ini Kompasiana masih bisa hidup karena nama besar Kompas. Tapi akankah selalu seperti ini? Saya pribadi berharap, semoga tidak.
Kompasiana sudah membuktikan menjadi pionir dalam jurnalisme opini warga. Tapi menjadi pionir tidak serta merta selalu menjadi nomer satu, dan bisa selalu eksis. Semoga kepergian Kang Pepih bisa menggugah Kompas group untuk berbenah. Selamat berkarya untuk kang Pepih, dan selamat mengemban tugas mas Isjet.
Pendekar Solo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H