intelejen.co.id
Sebuah realitas, Jokowi-Ahok adalah hasil sebuah kesepakatan besar antara Megawati (PDI-P) dan Prabowo (Gerindra) di Pilkada DKI tahun 2012. Koalisi PDI-P dan Gerindra yang dikeroyok partai-partai yang lain menorehkan sejarah lahirnya sebuah musim yang baru di panggung politik Indonesia, Jokowi-Ahok (Jakarta Baru).
Terlihat jelas strategi Prabowo adalah mengunci Megawati supaya 2014 mendukungnya Menjadi RI1. Sementara Jokowi-Ahok dianggap sudah cukup diberi panggung DKI. Tapi, rupa-rupanya hitungan manusia, bukan hitungan Tuhan. Sejarah berbelok.
Kepopuleran Jokowi melejit hanya dalam 2 tahun, relawan-relawan yang murni mendukung Jokowi (bukan bagian dari PDI-P) pun memperkuat posisi tawar Jokowi. Megawati pun terdesak.
Dan akhirnya, the rest is history secara mengejutkan Jokowi muncul menjadi penantang tunggal Prabowo. Dan pertarungan yang bak Daud melawan Goliat kembali dimenangkan yang kecil, dan yang lemah. Prabowo terkapar, Jokowi muncul sebagai harapan baru.
Sayangnya kekalahan Prabowo meninggalkan warisan kelam. Era kampanye hitam dan lahirnya para haters yang bagaikan cendawan, sampai detik ini. Spirit dari pertarungan 2012, dan 2014 muncul kembali melalui Pilkada DKI 2017, kali ini lakonnya Ahok.
***
Ada 4 faksi pendukung Jokowi-Ahok di 2012 : pendukung Jokowi, pendukung Ahok, pendukung PDI-P, dan pendukung Gerindra. 4 faksi itu akhirnya rontok satu di 2014 ketika Gerindra memisahkan diri dan menjadi lawan Jokowi.
Bagaimana dengan Ahok?
Pendukung Jokowi dan Ahok yang murni relawan independen terlihat masih cukup kompak dan memperjuangkan Ahok. Dan sekarang tinggal pendukung PDI-P yang terpecah karena jalur independen yang dipilih Ahok.
Menariknya, kondisi ini membuat para penghujat PDI-P dan Megawati bahkan penghujat Jokowi mendadak menjadi pendukung mereka. Sebuah kemunafikan politik yang sudah biasa terjadi, sehingga akhirnya di amini sebagai teknik berpolitik.