[caption caption="Suasana 'kota turis' Cape Town (www.mambaonline.com)"]
[/caption]Pro dan Kontra terhadap kaum LGBT bukan hanya terjadi lintas agama dan kepercayaan, tapi juga didalam koridor agama. Dalam koridor agama samawi Yahudi, Kristen, Islam yang sangat konservatif pun ternyata dikoyak dengan arus humanis liberal yang menjunjung tinggi HAM (Hak Asasi Manusia), tapi tidak begitu mengindahkan HAT (Hak Asasi Tuhan).
Bahkan Tuhan dan kitab suci dianggap sebagai sesuatu yang perlu di-adjust sesuai kebutuhan LGBT. Tidak heran, lahir mesjid dan gereja LGBT. Bahkan sejak Obama menggunakan kaum LGBT sebagai kekuatan politik, sinode-sinode arus utama di Amerika mulai rontoh satu-persatu dan menerima LGBT sebagai norma kebenaran. Lahirlah Alkitab LGBT, gereja LGBT, sinode LGBT, bahkan 'yesus' yang LGBT pun disesuaikan ulang. Tidak bisa dipungkiri lagi, LGBT-isme adalah sebuah revolusi sosial yang merubah peradaban.
Bagaimana dengan Indonesia?
Isu LGBT yang dilontarkan Menristek Dikti M. Nasir terbukti mampu memperlihatkan realitas sosial yang terjadi di Indonesia. Dari hasil pengamatan IKRI (Institut Karismatik Reformasi Indonesia) yang mengkategorikan revolusi gay (baca: lgbt) menjadi empat tahap, yaitu 1) Closed Gay Society 2) Open Gay Society 3) Equal Gay Society 4) Majority Gay Society, dapat diambil sebuah kesimpulan yang cukup mengejutkan bahwa Indonesia sedang menuju Equal Gay Society seperti yang terjadi di Barat, khususnya Amerika.
Dalam Closed Gay Society, kaum LGBT adalah adalah kaum yang tersembunyi. Tidak ada kebanggaan sama sekali menjadi seorang gay, dan masyarakat tidak bisa menerima dengan baik. Secara ekstrem, di tahap ini masyarakat beragama yang lupa esensi akan mudah main hakim sendiri. Menyiksa, mempermalukan, bahkan membunuh. Hal inilah yang membuat celah bagi revolusi gay terjadi. Semua yang tertindas akan selalu melawan, itulah pelajaran sejarah. Common enemy makes unity (musuh yang sama membuat kesatuan) adalah istilah yang tepat dipakai dalam konteks ini.
Dalam Open Gay Society, kaum LGBT diwakili beberapa 'tokoh banci' yang biasanya muncul sebagai artis, misalnya Dorce atau model banci-banci seprti di kesenian ludruk mulai muncul. Masyarakat mulai menerima tapi tetap tidak bisa menerima sebagai norma umum. Hanya beberapa dianggap normal. Tukang salon, desainer baju, pemusik, artis, dan posisi-posisi yang diterima sebagai posisi 'khusus gay' lainnya.
Dalam Equal Gay Society, LGBT-isme mulai merata di semua lapisan masyarakat. Pemikir-pemikir humanis mulai bersuara keras, dan menjadi LGBT menjadi identitas 'kekinian'. Di tahap ini, tujuan dari revolusi gay adalah legalisme LGBT. Puncaknya adalah pernikahan LGBT yang diakui hukum negara (baca : catatan sipil). Politisasi LGBT sudah mulai terjadi karena sudah menyangkut hukum legal. Di jaman sosial media, proliferasi dari LGBT-isme menjadi eksponensial, apalagi dukungan antar negara menjadi sangat kuat. Contoh kasus, di akhir 2015 mengakui memiliki 1,5 milyar pengguna mendukung revolusi gay di tahun 2015 akibat dukungan ini percepatan legalisme LGBT di peradaban dunia semakin terasa. Dunia sedang menuju klimaks revolusi gay.
Dalam Majority Gay Society, LGBT-isme menguasai peradaban. Sodom dan Gomora adalah sejarah kuno yang menjadi model paling terkenal di tahap ini. Di Amerika, Cape Town adalah sebuah kota turis yang semua penghuninya adalah LGBT. Mereka jadi tontonan turis-turis bak lokalisasi masal untuk LGBT. Dalam tahap ini, orang-orang yang konservatif (baca : percaya absolutisme kebenaran Tuhan) akan menjadi the remnnat (sisa-sisa).
Bagaimana Kita Harus Bersikap?
Pengamat sosial media Denny Siregar menuliskan dengan menggelitik isu LGBT dengan menurunkan dua artikel Agama Homosexual, dan Homo Yang Tertukar. Denny menunjukkan keberpihakan kepada pandangan konservatif dan menyamakan LGBT-isme, dengan radikalisme. Bahkan selanjutnya Denny dengan kuat menyatakan bahwa propaganda LGBT-isme adalah sebuah usaha 'pemerkosaan pikiran'. Suatu pandangan yang sangat menohok kelompok LGBT.