Islah terbatas, sementara, ataupun abal-abal dan mungkin sungguhan dari Golkar akhirnya terjadi. Islah yang 'politically correct' ini memperlihatkan betapa politisi Indonesia sudah sampai ketitik nadir, tidak mengerti arti kata malu. Secara transparan, Agung Laksono dan Ical memperebutkan kekuasaan demi kepentingan kekuasaan, tidak ada idealisme yang dipertahankan. Semua hanya demi kekuasaan. Miris.
Lagi-lagi JK menjadi tokoh 'pemersatu'. JK yang memang politisi kawakan, tapi sayangnya semakin jauh dari negarawan, ternyata masih sangat berambisi untuk posisi dan fame. Tanpa Golkar, posisi JK di pemerintahan JK terasa hambar. Berbeda ketika dia bersama SBY, dia mampu membawa gerbong Golkar ke pemerintahan.
Kompromi Agung-JK-Ical ini dibayang-bayangi kekuatan Prabowo dan Tommy yang dibelakang layar. Apabila mereka bersatu dalam satu perahu, maka Indonesia harus siaga. Kekuatan status quo ini sangat besar menghambat perubahan yang sedang dikerjakan Jokowi.
Dengan bergabungnya JK dan Tommy ke KMP secara tidak langsung mereka sedang mencoba membangun KMP++. Dengan demikian teori sederhana "ikan yang sama akan mengelompok dalam samudera raya" adalah benar adanya. Di satu sisi, kekuatan oposisi semakin besar. Di sisi lain, lebih gampang rakyat menilai mana yang benar-benar negarawan mana yang hanya politisi yang oportunis.
***
Islah Golkar memberi pelajaran politik kepada rakyat. Pada akhirnya, politik 'normal' selalu berpihak kepada kepentingan. Sebab itu, rakyat harus mendukung sepenuhnya tokoh-tokoh negara yang paling tidak 'sedikit kepentingan (taktis)' atau 'tidak ada kepentingan (idealis)'.
Sementara itu politisi-politisi yang sarat kepentingan pribadi, golongan, dan ideologi 'import' yang bukan Pancasila harus dihindari dan ditentang. Siapakah mereka ini? Baca berita, dan catat nama-namanya, hafalkan, bikin FGD (Focus Group Discussion), dan ceritakan ke lingkaran pengaruh kita, dan kebenaran itu akan memerdekakan rakyat yang kurang mengerti.
Satu hal yang terakhir, islah Golkar yang tergopoh-gopoh ini seharusnya menjadi indikator kuat rakyat untuk menghindari partai ini, minimal untuk Pilkada 2016. Sangat sulit rasanya menerima logika sebuah partai dengan islah yang semu akan melahirkan pemimpin yang benar.
Pendekar Solo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H