Lihat ke Halaman Asli

Hanny Setiawan

TERVERIFIKASI

Relawan Indonesia Baru

Kalau Saja Indonesia Dipimpin Lee Kwan Yew, Bukan Soeharto!

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

internasional.kompas.com

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="internasional.kompas.com"][/caption] Memulai di tahun yang sama 1965, memiliki hubungan pertemanan yang baik, bahkan ada kemiripian cara kerja diawal-awal pemerintahan, tapi nasib Soeharto dan Lew Kwan Yew (LKY) berbeda jauh.  Soeharto mati tanpa hormat, LKY mati dipuji sejagat.  Yang satu dikenang sebagai "Bapak Koruptor", yang lain dikenang sebagai Bapak Bangsa. Kalau saja Soeharto belajar dari LKY.  Atau bahkan kalau saja, Indonesia dipimpin LKY dan Singapore di pimpin Soeharto, maka saya yakin tukar tambah freeport pun kita rela.  Tapi apa lacur, semua sudah terlanjur, Singapore sudah dipuncak kejayaan, Indonesia sedang mulai membangun lagi. Apa yang membuat Soeharto gagal, sementara LKY berhasil membawa negaranya mengalami "keajaiban ekonomi?" Ada 3 hal utama yang kita bisa pelajari dari sejarah, fakta-fakta pahit yang bisa jadi pelajaran bagi pemerintah sekarang dan yang akan datang: 1.  Soeharto Bukan  Soekarno Apa artinya?  Founding father adalah orang yang dipercaya oleh "yang diatas" untuk meletakkan nilai-nilai luhur sebuah bangsa.  LKY adalah founding father Singapore yang memiliki visi dan misi yang jelas ketika memimpin Singapore lepas dari Malaysia. Sementara itu, Soeharto mendapatkan posisinya dari "kudeta supersemar", dan dilanjutkan holocaust G305PKI.  Jelas dua hal yang berbeda.  Apa yang ditabur, akan dituai.  Tidak perlu diperdebatkan lagi, 50 tahun taburan Soeharto sudah kita tuai buah busuknya di 98, dan sampai sekarang buah-buah kecut masih dituai.  Taburan LKY, berbeda sekali, Singapore menjadi salah satu negara terkaya, teraman, sangat menghormati kebhinekaan, bahkan terminal bis saja ber-AC. 2. Soeharto Rasis, LKY Bhinneka Isu SARA adalah taburan Soeharto yang paling meyakitkan bangsa ini.  Sampai hari ini, kegaduhan politik masih terjadi karena kelompok-kelompok sektarian yang mengatasnamakan agama mencoba mengubah NKRI.  Ketika nilai-nilai yang dianut sudah berbeda maka yang terjadi adalah konflik perabadan. Pancasila yang adalah rahmat Ilahi untuk bangsa ini, hanya dipergunakan untuk kepentingan pemilu, belum menjadi worldview bangsa ini.   Ketuhanan yang menjadi Sila nomer satu, tapi belum menjadi YANG TERUTAMA dalam hidup bangsa ini.  Beragama tapi tidak Bertuhan. Semengara itu, LKY dengan segala kekurangannya, selalu menjadi HAM diatas segalanya.  Tidak ada "orang melayu" yang dihinakan di negara yang juga sangat bhinneka ini.  3 bahasa resmi dipakai untuk negara yang hanya sebesar "Solo Raya" jumlah penduduknuya : Inggris, Chinese, dan Bahasa.   Ini bukan hisapan jempol, ini realitas.  Tidak perlu di analisis lagi, Singapore jauh lebih bhinneka dari kita yang burung Garudanya ada tulisan "Bhinneka Tunggal Ika" 3. Soeharto Menggunakan Hukum, LKY Menghidupi Hukum LKY pun sebenarnya sedikit banyak membangun nepotisme.  PM yang sekarang adalah anaknya.  Bedanya, LKY benar-benar memberi contoh bagaimana TAAT HUKUM.  Law enforcement benar-benar terasa di Singapore.  Di Indonesia bagaimana?  Reformasi baru berhasil membuka jalan perubahan, tapi belum selesai membangun sistem hukum yang adil. Politik di Indonesia kasar dan sangat primitif.  Kampanye hitam di pilpres 2014 kemarin semakin membongkar keadaan sebenarnya Indonesia.  Ditambah, 5 bulan pemerintahan Jokowi memperlihatkan resistensi yang luar biasa akan perubahan di bangsa ini.  Kanker korupsi disegala lini, kebijakan-kebijakan yang tumpang tindih, dan ketidakadilan dalam pelaksanann hukum ada ciri-ciri dari tidak tegaknya hukum di negeri ini. Semuanya itu terjadi karena selama 33 tahun bangsa ini hidup dalam pembusukan hukum, dan 98 tidak dipangkas secara total.  Akibatnya sekaran ini masih butuh waktu untuk benar-benar negara ini menjadi negara hukum. Minimal seperti Singapore.  Sebuah harapan.

***

50 tahun sudah berlalu.  Tidak bisa diputar lagi.  Ini waktunya kita mengejar ketinggalan dari Singapore, bukan malah merecoki dengan demo-demo yang ga jelas.  Stop menghakimi orang lain karena kulit dan agamanya, tapi ide dan wawasan yang harus dikedepankan.

10 tahun yang lalu saya berhenti jadi dosen (cuma 6 bulan) karena tidak tahan melihat sistem kerja kampus Indonesia, dan "malas"-nya mahasiswa waktu itu.  Gondrong, merekok, pacaran, suka demo yang ga jelas.  Dan sekarang 10 tahun setelah itu, saya masih muak melihat mahasiswa-mahasiwa tidak jelas.

Tulis kajian-kajian ilmiah pemerintahan Jokowi dan kemudian unggah ke Youtube, sosial media, dan media mainsteream.  Tunjukkan secara intelektual bukan asal-asalan. Ini waktunya berubah.  Dimulai dari KAMPUS yang BENAR untuk melahirkan Mahasiswa-mahasiwa yang benar.  Ini perkataan alm.  Lee Kwan Yew:

“What is the ideal product? The ideal product is the student, the university graduate, who is strong, robust, rugged, with tremendous qualities of stamina, endurance and at the same time, with great intellectual discipline and, most important of all, humility and love for his community; a readiness to serve whether God or king or country or, if you like, just his community.” - Late Mr Lee Kuan Yew (on students & youth of the nation)

Pendekar Solo

Gerakan #KampusBenar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline