Lihat ke Halaman Asli

Hanny Setiawan

TERVERIFIKASI

Relawan Indonesia Baru

Motivator Kontribusi Budaya Korupsi

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

138191275747314106

[caption id="attachment_272339" align="aligncenter" width="515" caption="http://designerhigh.com/"][/caption] Motivator yang sekali workshop bisa jutaan rupiah tarifnya, dapat disebut sebagai orang-orang yang "Berdakwah Sukses"   Hampir semua motivator fokus akhirnya adalah Sukses dalam artian Material.  Dulu miskin, sekarang kaya.  Mampu mengatasi kegagalan.  Merevolusi keuangan sehingga berlipat kali ganda.  Jadi, titik utamanya adalah UANG dan diri sendiri.  Beberapa motivator mulai melihat attitude, karakter mulai, mental juara sebagai paket dari keberhasilan.  Tapi tetap fokus kepada menimbun uang. Keberadaan para motivator ini tentunya adanya kebutuhan di perusahaan untuk memacu karyawan memenuhi target dan deadline.  Ataupun sesederhana memotivasi pribadi untuk bisa berhasil dalam masyarakat.  "Pemikiran sukses" ini bahkan mampu memasuki relung-relung agama dan sampai ke mimbar-mimbar gereja di hari minggu atau pun dakwah-dakwah di TV-TV.   Seakan-akan sukses sudah menjadi IDEOLOGI.  Dan ini tentunya berbahaya sekali apabila para pejabat publik menganut ideologi sukses tersebut. Akil, Atut, Angelina, Anas, LHI, Fathanah dkk apapun alasan dan agamanya, jelas mencerminkan ideologi sukses mampu mengubah pola pikir mereka.   Apakah dengan ini motivator bisa disebutkan berkontribusi lahirnya budaya korupsi? Oesman Arif seorang filsuf gaek dari Solo yang kadang terlupakan di bukunya "Membangun Logika Baru dan Pemikiran Modern" berargumen bahwa pemikiran manusia dibentuk oleh lingkungannya, kalau ia bergaul dalam lingkungan masyarakat yang suka berjudi dan suka mabuk-mabukan, tidak heran kalau ia juga akan menjadi penjudi dan pemabuk. Setuju dengan pemikiran Arif, penulis melihat menekankan ideologi sukses akan menambah apa yang disebut peer pressure atau tekanan dari lingkungan/teman/kolega. Pendekatan ke nilai-nilai adalah pendekatan yang lebih tepat untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik.  Biarpun motivator bukan ustad, pendeta, ataupun rohaniwan, motivator memiliki tanggung jawab moral untuk tidak menyebarkan ide-ide yang benar bukan sekedar mencari nama dan kekayaan dengan menyebarkan"ide beracun"   Pendekatan ke nilai-nilai ini mungkin bisa disebut masuk filsafat organis yang disarankan Oesman Arif dibuku yang sama.  Yaitu pendekatan yang utuh dan holistik dalam mensikapi hidup bukan terpisah-pisah dan fragmented. Pendekar Solo #HidupBenar lebih baik dari pada  hidup sukses

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline