Pernyataan tokoh Muhammadiyah, Din Syamsuddin (DS), soal air kemasan bergulir menjadi viral kontroversial. Din tidak sedang bergosip, mungkin beretorika di tahun politik, tapi yang jelas dia serius. Serius menantang pimpinan tarjih Muhammadiyah untuk memfatwakan haram air kemasan dan juga sedang berjuang menggugat Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (sumber).
Presuposisi (latar belakang pernyataan/pemikiran, red) DS yang diperkuat oleh kompasianer Erwin Alwazir adalah Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 intinya mengatakan air kemasan yang dikuasai asing adalah haram (sumber). Jadi bukan air kemasannya yang (akan) di haramkan, tapi asingnya yang (akan) diharamkan.
Soal haram atau tidak secara agama, saya tidak berkapasitas menilai. Tapi, saya berhak menilai pernyataan DS dalam konteks nasional dan kebangsaan. Baik secara tersurat maupun yang tersirat pernyataan DS adalah pernyataan yang kontra produktif untuk menghadapi AFTA 2015.
Globalisasi sudah hadir dan perdagangan besar sudah di ambang pintu, tapi bangsa ini masih diajak untuk mengharamkan asing dengan dalih UUD 1945. PR besar bagi DPR RI untuk mengkaji semua undang-undang untuk menterjemahkan Pasal 33 ayat 3 lebih relevan lagi. Tapi mengharamkan investor asing di masa ini? Apakah nantinya kita akan memilih juga investor asing, ada yang halal dan haram? Ini semakin rumit dan kacau bagi pelaku-pelaku bisnis di Indonesia.
Apakah Republik ini begitu angkuhnya untuk mengelola bumi, air, dan semua kekayaan alam TANPA BANTUAN investasi asing? Apakah pemikiran saya menjadi neo-liberal dan anti Indonesia kalau saya minta bantuan asing? Atau lebih semakin bias lagi, ternyata semua PMA yang berkaitan dengan bumi, air, dan kekayaan alam adalah HARAM. Pertanyaan-pertanyaan yang harus di jawab DS untuk mengkaji usulan mengharamkan air kemasan.
Studi kasus: Sampai hari ini PLN tidak mampu memenuhi pasokan listrik di Indonesia karena untuk membuat PLTU yang kecil, sebagai contoh 2X7 MW bisa sekitar 200-300 Milyar dengan margin yang sangat kecil. Butuh puluhan sampai mungkin ratusan triliunan rupiah untuk memenuhi pasokan listrik di Indonesia. Uang dari mana? Dari Ormas? Dari Parpol? atau dari APBN? Tidak sesederhana itu. Tapi kalau bisnis PLTU mampu menguntungkan maka swasta gampang digandeng masuk, dan akhirnya rakyat ga usah teriak-teriak akan adanya pemadaman lagi.
Itulah pentingnya kebijakan publik yang win-win solution. Namanya PARTNER dan KERJA SAMA ya harus saling menguntungkan. Investor tidak boleh mendikte bangsa ini, tapi investor tidak boleh di zolimi di republik ini. Yang jelas saya yakin bahwa investor asing dalam konteks kebangsaan, TIDAK HARAM. Justru kita butuh mereka berpartner dengan kita.
AFTA 2015 akan menjadi malapetaka besar, apabila pemimpin-pemimpin Indonesia masih memiliki pemikiran-pemikiran sempit apa itu nasionalisme dan harga diri bangsa. Kita tidak takut asing masuk, karena kita yakin anak-anak ibu pertiwi mampu menghadapinya.
Justru kita harus membuat anak-anak muda kita bersemangat menghadapi globalisasi dengan mimpi suatu kali kita akan sebesar bahkan lebih besar dari China dan mampu memberi hutang ke Amerika. Itu nasionalisme sejati, kita fight dalam sebuah fair game. Hanya orang yang tidak mampu yang takut bertanding. Indonesia bisa, Indonesia mampu. Hadapi!
Pendekar Solo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H