Lihat ke Halaman Asli

Nyanyian Hujan

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Perlahan terdengar gemericiknya, suara hujan di pelataran, tetesanya menyentuh pucuk-pucuk daun akasia yang berdesakan di halaman belakang villa biru.

Angin terdengar riuh menghampirinya, melenyapkan berbutir lelehan rimbun remis yang berjuntai, desauannya menyentuh kabut-kabut yang bertabrakan di antara kepulan-kepulan gerimis.

Senja berkalung butiran bening yang datang melenyapkannya, dari gelang-gelang keemasan yang selalu melingkarinya, kini hanyalah sepoian-sepoian rintih yang mengikat temali mentari.

*

Jauh kehidupan meninggalkannya, dari larik-larik pemantik kehangatan bianglala yang mewarnainya, api harapan yang tergilas bisu-bisu roda perjalanan, hanya tinggalkan debu-debu sampah yang berserakan dihatinya.

Daun pun mengering, terakhir helaiannya melayang-layang diangkasa, terbang melintasi angan-angan yang mengambang, antara kenyataan dan kekosongan.

September berlalu begitu cepat..

Akhir perjalanan hidup yang menyisakan pahit-pahit kenyataan, dari sebuah biji rempah tanaman yang layu ketika berkembang.

**

Dia hadir ketika semi musim berawal, laksana secercah mentari yang menghidupkan kembali dedaunan yang terkapar ketika beku salju mematikannya.

Pendar-pendar cahaya pun mulai menyinari, menghangatkan kedinginan yang lama telah beradaptasi, di lingkaran putih-putih berguguran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline