Lihat ke Halaman Asli

hanna septia melinda

hidup mulia atau mati syahid

Masak ya Masak Yuk!

Diperbarui: 22 Juni 2021   22:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Sebagai seorang aktivis perempuan saya kerap mendapat celoteh dari rekan organisasi terutama laki-laki, "perempuan kok gak bisa masak?" atau "gimana mau nikah, masak aja gak bisa." Sambil tertawa begitu renyah dan gembira. Dalam beberapa kesempatan lain,  saya juga sering mendapati keresahan perempuan ketika akan menikah. Salah satu penyebabnya adalah karena belum mahir memasak. Ya karena memang dalam persepsi masyarakat istri idaman adalah mereka yang punya skill memasak yang mumpuni.

Tentu saja situasi ini menjadi contoh masih adanya ketidaksetaraan gender. UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) menyatakan kesetaraan gender mengacu pada persamaan hak, tanggung jawab, dan peluang bagi perempuan dan laki-laki serta anak perempuan dan laki-laki. Hal tersebut menyiratkan, bahwa kepentingan, kebutuhan, dan prioritas antara kedua gender harus saling dipertimbangkan.

Padahal saya pikir memasak ataupun pekerjaan domestik lain seperti menyapu, mencuci dan sebagainya adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh laki-laki juga perempuan. Oleh karenanya hal tersebut perlu dilatih sejak dini sebagai bentuk kemandirian seseorang tanpa memerhatikan gender apapun. Sayangnya perempuan yang tidak pandai memasak selalu mendapat cibiran bahkan beberapa selebriti tanah air yang mengaku tak pandai memasak menjadi sasaran empuk media yang mengejar sensasionalitas semata.

Menghadapi situasi demikian, baik laki-laki maupun perempuan harus mengetahui hak-haknya, agar tidak tereksploitasi oleh sebuah paradigma yang merugikan salah satu pihak. Meski terlihat sepele namun jika dibiarkan akan berimplikasi luas ke berbagai aspek.

Jika dalam pandangan masyarakat memasak, mencuci, menyapu, mengasuh anak dan pekerjaan domestik lain menjadi kodrat perempuan, tentu saja hal tersebut adalah sebuah persepsi yang keliru. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menjelaskan kodrat, dibawa manusia sejak lahir, tidak bisa diubah, dan melekat pada jiwa seseorang. Kodrat perempuan adalah menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.  

Hal lain yang menyebabkan adanya bias gender ini adalah miskonsepsi tentang maskulinitas di masyarakat. Sebagai contoh laki-laki disebut maskulin apabila mengerjakan hal-hal yang membutuhkan ketangkasan fisik seperti kerja kasar dan mengangkat beban berat.

Kembali lagi pada persoalan memasak, kalaupun seorang perempuan kurang pandai memasak hal itu tidak perlu menjadi sebuah bahan cibiran. Karena sejatinya hidup adalah proses belajar. Bisa saja seseorang yang pada mulanya kita anggap tak bisa setelah melalui proses belajar menjadi pandai dan lihai.

Yang perlu kita lakukan bersama saat ini adalah meruntuhkan stereotype yang merugikan salah satu pihak agar tidak terus-menerus dilestarikan dalam kehidupan masyarakat.

Bayangkan saja, kalau sudah rumah tangga nanti, suami istri pandai memasak, bekerja sama mengurus anak dan urusan rumah tangga. Bukankah lebih mantap rasanya ?

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline