Berita keberangkatan Yahya Cholil Staquf menjadi pembicara di The David Amar Worldwide North Africa Jewish Heritage Center, Yerusalem, menuai kontroversi. Gus Yahya akan mengisi topik Shitfing the Geopolitical Calculus: From Conflict to Cooperation. Dari judul temanya saja sebetulnya orang-orang yang berhati bersih dan nalarnya dipakai akan tahu ini membahas bagaimana mengubah konflik menjadi sebuah kerjasama.
Nggak tanggung-tanggung pihak yang memainkan isu ini mulai dari Fadli Zon dan tentu saja mereka yang selama ini berseberangan dengan NU maupun memilih menjadi oposisi. Mereka balik menuding Gus Yahya tidak sepaham dengan kebijakan politik Pemerintah Jokowi yang mendukung Palestina. Fadli Zon sampai membuat cuitan seperti ini :
Gus Yahya bukanlah orang pertama dari Indonesia yang berbicara di forum bentukan Israel. Tahun 2013 pun Dien Syamsuddin pernah hadir di World Jewish Congress di Hungaria. Jadi ya seharusnya memang tidak ada masalah yang perlu diperdebatkan. Dugaan saya, Gus Yahya diserang karena dia orang NU (Beliau adalah Rais Aam) dan sekarang pun masuk sebagai Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Pemerintahan Jokowi.
Dua hal ini yang jadi faktor utama kenapa Gus Yahya diserang dan fakta tentang keberangkatannya diputarbalikkan sedemikian rupa. Coba yang berangkat adalah orang lain, terutama dari kubu sebelah, pasti justru akan dipuji sebagai bagian mereka menguasai dunia dan membangun perdamaian. Gus Yahya berangkat sebagai individu, bukan perwakilan manapun.
Dari sini saya tahu bahwa ada tokoh besar bangsa ini yaitu Gus Dur yang sangat dihormati oleh Israel. Gus Dur selama bertahun-tahun melakukan diplomasi dengan Israel menggunakan ilmu dan powernya sebagai tokoh agama. Dan sekarang inilah yang dilanjutkan Gus Yahya Staquf dan ulama NU lainnya. Mereka mungkin tidak berteriak di jalanan sambil mengumpulkan donasi atau setiap kali demo selalu membawa bendera Palestina, tidak. Tapi mereka, para tokoh bangsa ini, berjuang dengan apa yang dimiliki untuk langsung menembus ke sasaran meretas jalan mewujudkan perdamaian dunia.
Gus Yahya menyoroti soal bagaimana ulama memberikan pengajaran dan pemahaman kepada para umatnya untuk menciptakan hubungan yang harmonis. Kita tahu betapa kompleksnya akar permasalahan persoalan Israel-Palestina ini. Termasuk di dalam upaya itu adalah pengkajian kembali ayat-ayat yang ada di kitab suci dengan memperhatikan asbabun nuzul, waktu, dan konteksnya.
Gus Dur dulu yang menyikapi biaya sekian puluh milyar yang pernah keluar karena Gus Dur pergi mengunjungi banyak wilayah di dalam maupun luar negeri sebagai bagian memerangi ekstremisme. Padahal saat itu kondisinya belum seperti sekarang, tapi Gus Dur sudah bisa sejauh itu pikirannya. Uang yang keluar menurut Gus Dur tak sebanding dengan mahalnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa di tengah ancaman ekstremisme. Nah topik mengenai ekstremisme juga terbahas dalam acara ini.
Gus Yahya menyadari Indonesia pun belum bebas dari masalah dan begitu juga di dunia. Dan konflik, di manapun ini terjadi, seringkali menggunakan agama sebagai justifikasi.Nah kalau kita ingin mengubah keadaan jadi lebih baik, pola pikir kita yang harus diubah termasuk dalam merefleksikan pandangan kita terhadap agama. Bukan menyuruh tidak beragama lho ya, BUKAN! Agama itu seharusnya membawa kedamaian kan? Nah sekarang bagaimana kita bisa mewujdukan itu. Gus Yahya juga memunculkan ayat yang menerangkan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah keadaannya sendiri.
Ambisi manusia seringkali membuat fokus konflik hanya soal siapa menang, siapa kalah, apa yang didapat, dan sebagainya. Membuat kita lupa bahwa yang terpenting itu adalah bagaimana mengakhiri masalah ini. Ini buat saya merupakan solusi juga bagi konflik Israel-Palestina dan konflik-konflik lain. Termasuk konflik dalam kehidupan kita sendiri yang nggak ada hubungannya dengan dunia.
Dan bagian akhir statemnet Gus Yahya Staquf ini buat saya patut diacungi jempol sekaligus kita renungkan dan realisasikan. Kunci penyelesaian segala konflik adalah rahmah alias kasih sayang. Ini sudah sesuai dengan konsep Islam rahmatan lil alamin alias Islam rahmat bagi alam semesta. Bukan dengan harus meng-Islam-kan orang, tapi kita menjadi insan-insan yang penuh kasih kepada manusia lain sehingga akhirnya kita bisa bertindak adil dan manusiawi kepada sesama.
Jadi setelah saya nonton video di atas, saya mkin bingung sama Fadli Zon. Di mana ya letak ketidaksensitifan Gus Yahya? Dan juga kepada mereka yang mencibir. Kalian bisa lihat kan Beliau itu juga sedang berjuang, dengan ilmu, mengajak umat berkasih sayang dan berdamai sebagai alternatif penyelesaian konflik. Yah mungkin yang banyak ngebacotitu sejatinya cuma orang-orang yang haus kasih sayang atau nggak paham bagaimana menyayangi orang lain..