Lihat ke Halaman Asli

Dimas Putut Marsanto

Abdi Kehidupan

Menantang Tuhan

Diperbarui: 19 November 2022   06:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Le, gimana kabarmu?”

Demikian Ibu menanyakan kabar diriku melalui video call telepon pintarnya.

“Alhamdulillah kabarku baik Bu, saat ini sedang megerjakan tugas kuliah yang semakin padat”, ujarku

“Ingat yo Le, selalu sholat dan makan tepat waktu, Kamu jangan sampai sakit karena kalau sakit Ibu nanti bingung siapa yang akan membantu merawatmu”

“Aduh Bu, jangankan Ibu, Aku saja pasti bingung”, gumamku.

“Yo wes Le, baik-baik ya kuliahnya”, demikian Ibu menyudahi percakapan ba’da Isya ini.

Begitulah Ibu, beliau sangat perhatian kepada diriku. Sejak Ayah wafat sedekade lalu, Ibu lah yang saat ini bekerja menafkahi keluarganya, terdiri dari Ibu dan Aku sebagai anak tunggal. Ibu bekerja sebagai ART di perumahan yang berada di desa Kami di Sukoharjo Jawa Tengah. Dengan upah sebesar 1.200 ribu rupiah setiap bulannya, Ibu selalu menyisihkan 800 ribu untuk bekal uang bulananku selama kuliah di Kota Surabaya. Cukup gak cukup, uang bulanan tersebut harus cukup termasuk untuk biaya kost, makan dan kebutuhan hidup sehari-hari Aku. Uang tersebut biasa ditransfer oleh majikan Ibu diakhir bulan sedangkan sisanya diberikan tunai kepada Ibu. Telepon pintar Ibu pun merupakan pemberian dari majikan Ibu karena mereka berganti yang baru. Sesekali Ibu pun membantu memijat orang-orang yang tinggal diperumahan yang mungkin kelelahan setelah seharian bekerja duduk dikantor tentu dengan imbalan seikhlasnya.

Saat ini Aku sudah memasuki semester 7 perkuliahan dan Aku sudah mulai memikirkan tahapan menuju skripsi sebagai tugas akhir kuliah. Aku kuliah dengan berjalan kaki, dibandingkan teman-temanku mereka mayoritas menggunakan sepeda motor bahkan mobil. Untungnya Aku merupakan anak yang tidak silau dengan perbendaan duniawi walaupun secara batin hatiku selalu berteriak ingin hendak sejenak merasakan nikmat berkendara ke kampus seperti mereka-mereka itu. Untuk telepon selular yang kugunakan merupakan ponsel android yang Aku beli bekas sewaktu pandemi merebak sehingga mau tak mau Aku harus memilikinya agar dapat menjalani perkuliahan. Aku termasuk cuek dengan sindiran teman-teman kuliah. Jika ada yang menanyakan kenapa kok pakaian yang Aku kenakan itu –itu saja biasanya Aku jawab sedang menunggu model fashion terkini sambil tersenyum. Jika ada yang menanyakan mengapa diriku tak pernah sarapan pagi bersama anak-anak satu kost Aku jawab sedang mengikuti tren terkini yakni brunch, menggabungkan jam sarapan dengan waktu makan siang. Jika ada yang menanyakan mengapa diriku tidak pernah nongkrong ngopi bareng di warkop atau café Aku biasanya menjawab spontan sedang bokek alias tidak ada duit. 

Ya memang benar-benar dalam pengertian sesungguhnya diriku memang tidak memiliki uang. Untuk membeli bakso, mie ayam, seblak atau siomay saja yang bagi sebagian besar kawanku anggap itu sebagai jajanan Aku harus berpikir beberapa kali karena jika Aku sudah memilih bakso, mie ayam, seblak atau siomay maka itulah menu brunch atau makan malamku. Sehari-hari jatahku mengisi perut hanya dua kali, itu pun maksimal dan  tidak pula wajib nasi. Apapun Aku perkenankan masuk ke perutku asalkan makanan tersebut halal bagi mulutku. Untuk menghemat, Aku pulang kekampung hanya setahun sekali sewaktu Idul Fitri, tentunya selain berlebaran juga untuk sungkem kepada Ibuku dan ziarah ke makam almarhum Ayahku. Biasanya Aku ikut menumpang kawanku yang pulang kampung dengan berkendara sepeda motor sampai di wilayah Caruban, dari situ Aku berganti mencari tumpangan kendaran bak terbuka atau truk sambil berjalan kaki ke arah barat.

Aku tidak memiliki banyak saudara. Almarhum Ayah dan Ibu sama-sama merupakan anak tunggal dari orang tua mereka yang juga anak tunggal. Yah, kedua orang tuaku mereka sama-sama anak tunggal. Kakek dan  nenek masing-masing dari Ayah dan Ibu mereka juga anak tunggal. Saudaraku biasanya merupakan saudara jauh yakni, cicit dari sepupu orang tua kakek dan nenekku. Itupun mereka bertempat didesa yang berjauhan dari desa yang Kami tinggali sehingga praktis ketika ber Hari Raya Aku jarang pergi kemana-mana bahkan untuk berunjung-unjung. Kondisiku tersebut tidak mengahalang diriku bersosialisasi dan menjadi rendah diri. Rekan kuliah dan siapapun yang mengenaliku tahu bahwa Aku merupakan pemuda yang ramah dan baik. Kerapkali Aku membantu mengerjakan tugas-tugas perkuliahan milik teman-temanku yang diberikan dosen pengampu dan Aku banyak menerima ucapan terimakasih syukur-syukur diberikan gorengan, es teh hingga nasi bungkus dan Aku pun merasa berbangga.

Hari itu merupakan hari Jumat di minggu keempat bulan Maret. Entah mengapa Aku merasa pengeluaran untuk bulan ini terasa banyak sekali, entah untuk fotocopy, membuat laminating laporan dan mengetik di persewaan puskrip sekitar kampus. Tak terasa uang bulananku saat ini hanya tersisa dua puluh ribu rupiah saja padahal masih mensyaratkan lima hari lagi sebelum bulan beralih ke April. Bagaikan serangan stroke kasatmata sedang merambati tubuhku, keringat dingin berkelindan diseluruh tubuh dan merampas ketenangan batinku. Mungkin ini kali pertama Aku merasakan sesak yang bukan karena kekurangan oksigen. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline