Selumbar hari lalu, seorang kawan berkisah tentang keponakan-keponakannya yang sudah menagih uang jajan jelang Hari Raya alias THR.
Kawan itu sedikit bertutur mengenai kultur dalam keluarga besarnya khususnya ketika perayaan Lebaran tiba dan dikaitkan dengan kondisi keuangan yang melanda dirinya saat ini.
Dengan situasi pandemi seperti saat ini, ia mengutarakan mengalami pemotongan upah oleh perusahaan tempatnya bekerja dengan alasan waktu kerja yang terpendekkan karena terlaksana secara daring dan WFH (Work from Home) maka tak ayal pendapatan bulanan kawan tersebut pun cukup terusik.
Saya pun sedikit bersimpati dengan kondisi kawan tersebut namun tak dapat berbuat banyak selain mendengarkan dengan baik diiringi roman nan bermuram belas kasih bagai mustamik karena Saya sendiri pun mengalami hal yang serupa berupa pemotongan upah bulanan karena format durasi kerja yang berkurang.
Adapun yang Saya petik dari kejadian tersebut adalah Kawan Saya tidak sendirian mengalami hal itu, banyak lagi teman-teman Kita diluar sana semenjak pandemi berjalan selama kurang lebih dua setengah tahun terakhir mengalami distraksi kehidupan sosial dan ekonomi.
Bagi yang sudah berkeluarga, variabel ekonomi pastilah menjadi yang terdepan bahkan mungkin bagi kebanyakan masyarakat Indonesia.
Walaupun begitu kultur tetaplah kultur. Dia tak kan pudar jika pelakon (masyarakatnya) masih tetap dinamis mempertahankan keadaan tersebut.
Menyambut Hari Raya berpekan lagi sapa dan cakap seperti ini kian sering terbetik :
“Hore Om datang, mana angpau lebarannya”
“Hayoook Kita unjung-unjung ke rumah Pak Lik, sapa tahu Adik diberi sangu nanti”
"Ayah, jangan lupa anak-anak keponakan sudah antri menunggu THR”