Lihat ke Halaman Asli

Kompas dan Kompasiana: Hendaklah Jadi Paduan yang Seimbang!

Diperbarui: 27 Juli 2015   09:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, harian Kompas merupakan surat kabar yang menjadi acuan. Bahasa yang dipakai dalam harian Kompas umumnya bisa dianggap sebagai standar bagi bahasa Indonesia yang baku. Kompas TV juga merupakan refleksi (cermin) dari harian Kompas. Bahasa yang dipakai dan acara yang ditayangkan umumnya digemari oleh berbagai kalangan tak hanya kalangan berpendidikan.

Saya teringat saat Pak Ahok diwawancara dalam salah satu acara di Kompas TV, Pak Ahok memakai sebuah kata yang berkaitan dengan toilet, yaitu “tahi”. Pemakaian kata dari toilet itu sempat membuat masyarakat jadi heboh dan terjadilah kontroversi. Sebagian anggota masyarakat mengecam Kompas TV yang menayangkan wawancara tersebut tanpa sensor, tapi banyak juga anggota masyarakat yang membela Pak Ahok. Yang mencela adalah kelompok masyarakat yang berharap bahwa Kompas TV mencerminkan citra harian Kompas, sehingga pemakaian kata yang dipungut dari toilet itu dianggap tak pantas. Yang membela adalah kelompok masyarakat yang sudah sangat kesal terhadap para koruptor yang dianggap sebagai salah satu biang keladi kesengsaraan masyarakat.

Perkataan Pak Ahok memang terasa kasar bagi kelompok masyarakat yang masih amat mengagungkan sopan santun. Akan tetapi, perkataan yang terasa kasar itu akhirnya bisa diterima (berlalu) karena orang-orang yang dikecam oleh Pak Ahok itu memang seperti 'kotoran' yang sepatutnya berada di dalam jamban.

Sebagaimana halnya dengan Kompas TV, saya juga berharap bahwa Kompasiana pun merupakan jurnalisme warga yang mencerminkan citra harian Kompas. Sayangnya, kemarin saya menemukan sebuah tulisan yang dari sisi isi atau pesan biasa saja, tetapi dari sisi kata-kata yang digunakan mengagetkan, dan oalah... respon admin terhadap tulisan tersebut lebih mengagetkan lagi. Tulisan yang mengagetkan saya itu berjudul, “Tulisan Saya Bagus, Tolong Jangan Dijadikan Headline!”

Dalam tulisan tersebut, ada kata taek kabeh (kata dalam bahasa Jawa yang berarti tahi semua) dan kata jiancok (kata umpatan/makian yang biasa dipakai di Jawa Tengah dan Jawa Timur). Robbi Gandamana, sang penulis, mengatakan dalam salah satu tanggapan terhadap komentar pembaca bahwa tulisannya adalah “tulisan underground (bawah tanah)” dan bahwa kata taek dan jiancok adalah “bahasa keakraban” rakyat jelata. Tanggapan semacam itu lebih mengagetkan lagi dibandingkan artikel yang dia tulis!

Ketika saya mencoba menelusuri lapak mas Robbi, saya merasa yakin bahwa pendidikannya pasti cukup tinggi. Sebagai seorang ilustrator, sudah pasti dia juga cukup cerdas. Yang mengherankan bagi saya, bagaimana mungkin seorang seperti Robbi bisa menulis dengan memakai kata-kata yang sedemikian kasar? Yang paling mengagetkan (dan menyedihkan), Robbi mengatakan bahwa pemakaian kata-kata kasar semacam itu adalah hasil indoktrinasi (bangga karena ditanamkan) orang tuanya sejak kecil. Pengakuan yang mencoreng citra orang tuanya sendiri itu sulit saya percaya bila saya tidak membaca sendiri tulisan Robbi lainnya.

Di Jawa kata Jiancok adalah kata umpatan yang dianggap paling kasar--salah satu kompasianer mbak Fidiawati malah mengungkapkan dalam tulisannya “Tanggapan atas artikel Robbi” kalau Abahnya sampai menampar pipinya ketika meniru cara tetangganya mengumpat dengan kata itu-- bahkan lebih kasar dari kata asu (kata dalam bahasa Jawa yang berarti anjing). Kata jiancuk itu berasal dari bahasa Tionghoa yang artinya adalah babi hutan. Pergaulan antara orang Tionghoa dan orang Jawa membuat kata umpatan itu diadopsi oleh orang Jawa dan pelafalan kata itu mengalami pergeseran dari lafal aslinya.

Yang jelas, pemaparan Wikipedia Indonesia tentang kata jancuk tidaklah tepat. Karena saya bukan ahli linguistik, penjelasannya memang masih harus diuji oleh ahli Semantik.

Sekitar puluhan tahun yang lalu, ada seorang teman yang berasal dari Jawa Timur memakai kaos oblong bertuliskan kata jiancuk. Saat ditanya, ternyata dia tidak mengerti apa arti kata jiancuk. Sangat menggelikan dan juga menyedihkan bila kita mengingat bagaimana kata makian bisa bergeser makna menjadi kata yang mengungkapkan keakraban di Jawa Timur (daerah tempat mas Robbi tinggal, demikian juga daerah dimana mbak Fidia berdomisili). Sama-sama dari daerah yang berdekatan (Jatim) tapi maknanya sudah berbeda!

Anehnya kata taek pun dianggap sebagai kata yang juga mengungkapkan keakraban bagi Robbi. Saat mengamati tulisan Robbi dan komentarnya, samar-samar saya melihat adanya dualisme dan kecenderungan memberontak terhadap kemapanan. Di satu sisi, Robbi memahami bahwa kata taek dan jancuk adalah kata umpatan. Di sisi lain, kata-kata umpatan itu telah menjadi ungkapan keakraban. Sebagai seorang yang berpendidikan, seharusnya Robbi memberi teladan yang baik, apalagi tulisannya banyak mengungkapkan kekagumannya terhadap cak Nun—seorang budayawan yang terkenal santun-- bukan malahan meneruskan indoktrinasi yang merendahkan dirinya sendiri itu!

Saya tidak tahu apakah admin mengetahui arti kata jiancuk atau jancuk. Akan tetapi, rasanya tidak mungkin admin tidak mengerti arti kata taek yang dipakai oleh kompasianer Robbi. Pemakaian kata tahi oleh Pak Ahok telah menimbulkan kontroversi. Apakah admin sengaja meloloskan kata tahi dan jiancuk dan bahkan sengaja ingin membuat kontroversi dengan memberi Highlight pada tulisan Robbi, sementara tulisan tanggapan dari mbak Fidiawati sama sekali tidak dikilau Highlight oleh admin?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline