Lihat ke Halaman Asli

Dana Aspirasi DPR: Wasit yang Ikut Bertanding

Diperbarui: 7 Juli 2015   04:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa dana aspirasi DPR perlu dipermasalahkan?  Kita perlu memahami bahwa ketatanegaraan Indonesia menganut sistem pemisahan kekuasaan yang disebut Trias Politica. Ketiga macam kekuasaan—legislatif (DPR), eksekutif (pemerintah) dan yudikatif (kehakiman)—tidak boleh dijabat oleh orang yang sama. Para menteri kabinet dibentuk oleh presiden (sehingga disebut kabinet Presidensial), bukan dibentuk oleh DPR (kabinet Parlementer).

DPR menetapkan aturan main atau undang-undang (legislasi) yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Dengan mempertimbangkan undang-undang yang ditetapkan oleh DPR, pemerintah membuat rencana kegiatan dan rancangan anggaran yang harus diajukan ke DPR untuk diperiksa, “disempurnakan”, dan kemudian disahkan.

Pemerintahlah yang harus melaksanakan rencana kegiatan berdasarkan anggaran (APBN) yang ditetapkan oleh DPR, sedangkan DPR selanjutnya bertugas mengawasi pemerintah untuk memastikan bahwa rencana yang diajukan oleh pemerintah itu dilaksanakan berdasarkan anggaran (APBN) yang telah disahkan oleh DPR.

Dana aspirasi DPR adalah anggaran yang bisa diusulkan oleh setiap anggota DPR untuk melaksanakan rencana kegiatan di daerah pemilihan anggota DPR ybs. Dana sebesar Rp 20 Miliar per angggota DPR setiap tahunnya ini dianggarkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016 (RAPBN 2016). Adanya dana aspirasi ini menimbulkan kerumitan karena pemerintah bukan hanya melaksanakan rencana kegiatan yang direncanakan sendiri oleh dirinya, tetapi juga harus melaksanakan rencana (kemauan) anggota DPR. Adanya dana aspirasi ini menimbulkan dua masalah:

  • Pertama, secara ketatanegaraan, dana aspirasi ini bisa dipandang sebagai intervensi DPR terhadap lingkup kekuasaan pemerintah. Sistem pemisahan kekuasaan (trias politica) menjadi tercemar. Pemerintah akan menjadi serba salah:
  1. Bila usulan dana aspirasi itu ditolak oleh pemerintah, bisa saja anggota DPR  yang bersangkutan menjadi marah lalu “mengganggu” program pemerintah.
  2. Bila usulan dana aspirasi itu diterima, bisa jadi hal itu berarti bahwa pemerintah harus mengesampingkan rencananya sendiri agar bisa menampung keinginan anggota DPR.
  • Kedua, dari sisi praktis, adanya dana aspirasi itu menambah kesenjangan antara daerah kaya dan daerah miskin (karena daerah kaya umumnya padat penduduk dan memiliki jumlah anggota DPR yang jumlahnya lebih banyak daripada daerah miskin), serta membuka kesempatan bagi anggota DPR untuk memanfaatkan kekuasaannya guna memperoleh keuntungan pribadi (melalui transaksi “rahasia” dengan pemerintah daerah atau dengan kontraktor). Sementara bagi daerah miskin tetap terabaikan (tidak ada kemajuan) karena minimnya (sedikit) anggota DPR yang mewakili daerah tsb. Untuk diperhatikan, dana aspirasi ini dianggarkan kepada tiap anggota DPR, bukan berdasarkan daerah.

Adanya dana aspirasi ini bisa dikatakan serupa dengan wasit sebuah pertandingan yang ikut bertanding atau setidaknya ikut mempengaruhi sebuah pertandingan. Bayangkan, bagaimana DPR bisa menjalankan fungsi pengawasan secara objektif kalau program yang diawasi, termasuk bagian dari program yang diperjuangkan oleh anggota DPR itu sendiri?

Masalah pemisahan kekuasaan untuk menghindari konflik kepentingan merupakan sebuah prinsip mendasar yang bisa diterapkan di segala bidang. Kita menghargai para pejabat yang rela melepaskan posisinya atau sahamnya di perusahaan yang dia pimpin atau yang dia miliki untuk menghindari konflik kepentingan. Begitu juga kebijakan yang diterapkan pemerintahan Jokowi-JK dengan tidak mengizinkan anggota kabinet (menteri) rangkap jabatan di partai politik.

Masalah pemisahan kekuasaan ini bahkan dapat diterapkan di Kompasiana. Kadang-kadang saya mendengar isu yang tidak sedap bahwa tulisan dari penulis tertentu dengan mudah tertampil di tempat yang terhormat (HL atau TA) hanya karena kedekatan dengan admin, bukan karena mutu tulisannya. Dan yang tak kalah pedasnya bisik-bisik bahwa artikel yang dibuat admin hampir 95% masuk di kolom HL. Saya berharap bahwa berita semacam itu hanyalah isu, bukan kenyataan!

Saya juga berharap bahwa dalam format Kompasiana yang baru ini, peran admin sebagai wasit yang adil bisa terus ditegakkan, bahkan semakin ditingkatkan. Saya pernah membuatkan tulisan sekaligus ajakan agar sebagai Kompasianers, Belajarlah Menghargai Kerja Admin.

Sebaliknya, saya juga berharap bahwa Admin selain berfungsi sebagai wasit, juga berperan sebagai penjaga, pengarah, pelatih, pemberi semangat, dan penolong bagi kompasianer. Mudah-mudahan admin tidak pernah menjadi wasit yang ikut berlomba!

Di satu sisi, sikap tegas admin dalam memberikan sanksi terhadap tulisan atau pun komentar yang tidak sejalan dengan aturan main tetap diperlukan. Di sisi lain, saya sebagai kompasianer juga berharap bahwa kebijakan admin bisa bersifat objektif dan transparan. Terus terang, saya sering merasa bingung melihat kebijakan admin karena saya tidak memahami standar yang ditetapkan admin dalam membuat keputusan. Sebagai contoh, semula tulisan terpopuler hanya berdasarkan jumlah hits kemudian berubah lagi, ada baiknya setiap perubahan disampaikan dengan jelas dan transparan.

Saya berharap admin bisa menjadi pengarah, pemberi semangat bahkan guru yang membuat setiap kompasianer bisa terus menjadi lebih baik dalam menulis. Dengan demikian, sebagai “pemain”, para kompasianer bisa “bertanding” untuk menyajikan tulisan yang semakin baik, sedangkan admin sebagai “wasit” selalu memberikan penilaian yang fair.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline