Terinspirasi artikel mbak Fidiawati "Kunci Hidup Tenang", dalam tulisan kali ini saya juga ingin berbagi dari hati ke hati. Menulis artikel politik beberapa kali membuat saya jengah juga, sekali-kali ingin menulis dalam suasana dan sisi yang lain. Inilah dasar saya memberi judul seperti diatas, eits... jangan curiga dulu, ini berkaitan dengan yang saya alami lho dengan suami tercinta (di dunia nyata) selain sahabat (soulmate) di kompasiana (dunia maya).
Awalnya saya gak ada niat nulis, mengingat gak punya bakat dan pastinya perlu waktu yang cukup buat mengerti, mengenal, dan berinteraksi dengan para kompasianer yang beraneka ragam kepribadian, yang ada di dunia maya, rumah kompasiana.
Sebagai pemula, tidak mudah bagi saya memahami dan mengerti keadaan yang terjadi, mungkin komentar atau tanggapan saya tidak menyenangkan, mungkin juga ada yang buat tersinggung, untuk itu saya mohon dimaafkan dan dihapus dari segala prasangka negatif.
Menulis di kompasiana ini menjadi satu tantangan menarik, menyenangkan - jika sedang punya ide dan terinspirasi dari dalam hati, sekaligus hal yang tidak menyenangkan. Kapok, satu kata yang akhirnya buat kompasianer enggan melanjutkan interaksi dan akhirnya mundur perlahan-lahan bahkan bisa saja pamit dari kompasiana.
Jujur saya pernah alami situasi demikian, suasana yang benar-benar gak nyaman, di salah mengerti baik lewat tulisan maupun komen, yang berujung menyerempet ke pertemanan dengan beberapa sahabat kompasianer. Mengapa ini bisa terjadi? Adakah cara memperbaiki suasana yang panas dan sudah penuh kecurigaan menjadi suasana bersahabat, saling menghargai, gak pake nge'judge' harusnya begini or begono menurut pola pikir kita yang ikut-ikutan TSM (Terstruktur, Sistematis, Masif) heheh, gak ngebully, dsbnya? Bagaimana supaya persahabatan itu menjadi apa adanya, bukan karena ada apa, apalagi sampai jadi apa-apa? (wkwkwk)
[caption id="" align="aligncenter" width="573" caption="Persahabatan ala Kompasiana (bisa gak sich?)"] [/caption]
Konon katanya nih, Nazaruddin bersahabat dengan Anas Urbaningrum. Saking akrabnya, mereka sampai liburan bersama, janjian pesan baju yang sama modelnya dan pake penjahit yang sama, silahturahmi antar sesama istri dengan akrab dan girang. Tapi itu konon lho, apa yang terjadi setelah itu? Dalam persidangan korupsi, mereka saling klaim siapa yang paling benar, saling berlomba menjerumuskan dan cari pembenaran diri, saling sindir menyindir, saling buka aib, dsbnya. Padahal sekarang sama-sama penghuni hotel prodeo. Nah lho! Persahabatan macam beginikah yang kita harapkan?
Konon katanya juga, Roro Jonggrang minta Bandung Bondowoso membuat 1000 candi dalam satu malam sebagai syarat untuk menikahi dirinya (kisah menarik ada dalam tulisan mas Djoel “Kata Sekjen PKS yang Membuat Tangkuban Parahu itu Roro Jonggrang...”) Sayang, hanya 999 candi yang terselesaikan karena ada tipu muslihat dari si Roro Jonggrang. Karena kurang satu candi akhirnya syarat tidak terpenuhi dan lahirlah cerita terkenal tsb. Apakah hati seperti Roro Jonggrang yang kita harapkan terjadi dalam sebuah persahabatan?
Konon lagi katanya, artis Nia Daniaty dicurangi oleh sahabat akrabnya, Ani Muryadi yang melangsungkan pernikahan (diam-diam?) dengan suami mbak Nia, FA inisialnya (mau tau namanya, silahkan cek deh sama mbah gugel) . Pada kenyataannya, antara mbak Nia dan FA sudah tidak ada kecocokan lagi dan akhirnya jalan cerai ditempuh. Hubungan persahabatan dengan cara demikiankah yang kita harapkan terjadi?
Konon katanya, ada seribu alasan yang bisa merenggangkan tali persahabatan bahkan hubungan dalam pernikahan. So, bagaimanakah cara menguji seseorang pantas jadi sahabat atau bukan? Yuk, cekidot;