Lihat ke Halaman Asli

Haniyah PutriSiregar

SMK Negeri 37 Jakarta

Tidak Ada Kata Terlambat

Diperbarui: 18 November 2020   07:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Suatu pagi dengan rintikan hujan dan bau khas hujan, terdapat sebuah rumah kecil di perdesaan yang dihuni oleh seorang ibu dan seorang remaja wanita yang bernama Meisya. 

Meisya atau akrab dipanggil Mei adalah seorang yang tidak suka berkomunikasi dengan orang lain, dia mudah sekali marah setiap kali ada yang mengganggunya. Hubungannya antara ibu dan anak bahkan tidak cukup baik. Mei selalu saja merasa kesal setiap kali ibunya membicarakan kekurangannya.

Mei bukan termasuk murid yang senang belajar disekolahnya. Dia hanya melakukan apa yang dia inginkan. Bahkan, setiap pulang sekolah Mei selalu bekerja di sebuah kafe yang dekat dengan pusat kota tanpa sepengetahuan ibunya. Setiap kali ibunya berbicara dengannya, itu hanya akan berujung amarah.

Sampai suatu hari, ibunya harus bekerja diluar kota selama 3 hari. Selama ibunya bekerja diluar kota, Mei selalu memberisihkan dan merapikan rumah tanpa ibunya menyuruhnya. Tetapi ia belum pernah sekalipun masuk ke kamar ibunya. Pada saat itu lah mei mencoba masuk untuk membersihakan kamar ibunya dan itu juga menjadi pertama kalinya Mei masuk ke dalam kamar ibunya. 

Saat Mei merapikan dan membersihkan kamar tersebut, Mei melihat sebuah kotak (seperti koper) yang penuh debu di bawah kasur ibunya. Tanpa berpikir panjang, Mei langsung mengambilnya dan membukanya. 

Saat membukanya, dia terkejud dengan isinya. Dalam kotak itu banyak sekali perhiasan, surat - surat, dan sebuah album foto. Mei melihat-lihat album foto tersebut dan membaca beberapa surat. Tanpa sadar air mata jatuh perlahan, Mei tidak bisa menahannya. Surat yang dia baca berisikan tentang dirinya yang ditulis oleh ayahnya. Oiya, ayah Mei itu sudah tidak ada sejak Mei lahir karena kecelakaan.

Sampai saat ini, pertama kalinya Mei melihat wajah ayahnya di foto. Surat yang Mei baca bukan hanya ditulis oleh ayahnya, tetapi juga ditulis ibunya. Ibunya ingin Mei tumbuh menjadi putri yang periang, namun ibunya Mei sejak kecil sudah sering dibentak dan ibunya merasa bersalah. 

Selama ini, ternyata setiap kali ibunya membentak Mei, ibunya selalu merasa bersalah telat melakukan itu. Satu satunya cara ibunya untuk menenangkan hati dan pikirannya adalah dengan menulis surat, karena ibunya gemar menulis.

Setelah ibunya kembali dari luar kota, Mei bersikap berbeda dari biasanya. Mei menjadi anak yang lebih ceria seperti yang diinginkan ibunya. Mei juga sudah bisa menahan emosinya. Dia juga mulai bermain dengan teman - temannya, walaupun temanya heran dengan sikap Mei. Tetapi mereka senang karena Mei ternyata adalah seorang yang mudah bergaul. Sejak itu, hubungan ibu dan anak mulai membaik. Begitu juga hubungan Mei dengan teman - teman sekelasnya.

Tamat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline