Tersebutlah di sebuah daerah transmigrasi di sisi barat pulau Sulawesi, hiduplah bersama orang Mandar, Bugis, Toraja, Jawa, NTT, Lombok (mereka tidak menyebut dirinya orang NTB), Sunda, Bali, dll. Mereka adalah transmigran yang berhasil bertahan dan menyemai kehidupan baru di tanah harapan.
American Dream
Tiap etnis biasanya punya pemukiman sendiri. Ada SP (Satuan Pemukiman)1, SP 2, SP 3, dst yang ditata program transmigrasi dulu. Maka terbentuklah kawasan yang mayoritas dihuni etnis tertentu. Misalnya ada daerah orang NTT, daerah yang banyak orang Torajanya, yang biasanya didirikan gereja untuk tempat ibadah.
Orang Bali biasanya punya kampung Bali yang asri dengan aneka rupa tanaman bunga dan pohon buah-buahan. Di sana juga ada pura sebagai tempat peribadahan. Sementara lainnya hidup bercampur dan ada masjid sebagai tempat ibadah orang islam.
Saya sering bertanya dalam hati, bagaimana cara mereka bertahan hidup di kawasan yang dulunya hutan (dan masih hutan) ini? Saya yakin, kalau saya hidup di sini dalam waktu lama, bisa kelimpungan. Tidak ada kelimpahan akses dan informasi beserta kemudahannya seperti di kota.
Ternyata yang menyatukan semua adalah harapan untuk hidup lebih baik. Harapan untuk membuka peluang baru, yang mungkin di tempat asalnya sudah dikuasai oleh tuan tanah, pendatang sukses atau orang terdidik.
Harapan untuk tinggal di tanah yang lebih subur. Atau harapan untuk berusaha mandiri. Orang- orang yang berani keluar dari tempat asalnya untuk memulai hidup baru dari nol ini adalah orang-orang tangguh.
Harapan itu dicapai dengan menjadi petani plasma, menjadi karyawan perusahaan sawit, menjadi pedagang, nelayan, tukang, pemilik warung, menjadi pns, menjadi pendakwah, dll. Pendeknya, segala sisi kehidupan disangga dan dipenuhi oleh berbagai etnis yang hidup dan bertumbuh bersama. Mungkin inilah yang disebut American Dream versi lokal.
Saat Alat Masak menjadi Penting
Salah satu yang tidak terpikir oleh saya adalah concern mereka saat hajatan. Orang NTT dan Toraja makan babi. Dengan demikian peralatan makan dan masak berpotensi tersentuh babi. Mereka tahu kalau orang islam tidak makan babi. Dan tetangga muslim yang diundang hajatan kawinan kemungkinan tidak datang dan tidak makan. Lalu apa yang mereka lakukan ?
Saudara-saudara nasrani ini meminta kawan-kawan muslim untuk turut memasak dengan peralatan milik orang muslim atau (kalau ada) menggunakan belanga inventaris milik bersama. Memasaknya secara terpisah agar bahan dan alat masak tidak tercampur.
Karena perkara masak memasak ini dikerjakan bersama, maka informasi perihal makanan akan tersebar dan menjadi penguat. Misalnya bahwa makan di hajatan Mama Rio aman, karena yang masak orang islam. Apabila masih tidak yakin, tamu muslim datang menghormati undangan tuan rumah dan hanya memilih minum air kemasan.Pun demikian halnya, jika ada acara arisan atau pertemuan atau bahkan giliran menyiapkan nutrisi makanan dengan penanggung jawab saudara nasrani, maka yang bersangkutan akan memesan kue di tempat saudara muslim.
Kalau perlu, tuan rumah akan meyakinkan tamu bahwa kue ini dipesan di Mama Bagas, misalnya. Dan sebagai minuman, biasanya air minum kemasan, atau botol soda spesial saat hari raya. Tidak ada minum pakai gelas. Satu sisi demi kepraktisan, sisi lain demi menjaga satu sama lain.