Ketika mendengar kata Pancasila, kita akan tertuju pada sebuah kata yang diikuti dengan isi sila-silanya, yang sering diucapkan di moment upacara, baik di sekolah, saat upacara 17-an bagi pegawai atau perayaan hari Nasional.
Kilas balik itu, membuat persepsi kita terhadap Pancasila hanya sebagai ikrar belaka yang selalu diucapkan bersama-sama dan dianggap sebagai suatu hal yang statis, karena banyak orang menganggap terlalu idealistis.
Sesungguhnya, Pancasila merupakan manifestasi dari jiwa, kepribadian dan ideologi bangsa Indonesia yang bernilai untuk menggerakkan dinamika kehidupan manusia baik secara pribadi maupun secara kolektif serta kemudian menjadi kokoh sebagai "Dasar Negara Indonesia".
Gagasan Pancasila dilahirkan melalui pemikiran yang didasarkan atas kontemplasi para Pendiri Bangsa (The Founding Fathers) dengan kondisi realita yang ada. Oleh karena itulah, Pancasila bukan hasil pemikiran yang utopis, melainkan pemikiran yang realistis dan bertujuan.
Pancasila merupakan hasil karya dari kemajuan akal manusia untuk menciptakan suatu kehidupan yang berdasarkan kekeluargaan dalam konteks kebangsaan. Pancasila menjadi luar biasa, tatkala dapat membangun suasana kehidupan dalam keberagaman agama, bahasa, adat serta antar golongan agar hidup berdampingan dalam bingkai suasana kekeluargaan.
Suatu filsafat dari timur, yang tidak begitu terkemuka tapi sarat akan hakikat nilai-nilainya. Pancasila sangat realistis, karena mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber nilai kehidupan dan mengakui pentingnya keseimbangan kehidupan pribadi dan kehidupan sosial.
Jika mencermati historis proses lahirnya Pancasila, bukan sekedar "istilah", namun "makna" yang melekat pada isi Pancasila yang tertulis secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Kelahiran Pancasila tersebut merupakan hasil telaah filosofis, dari Ir. Soekarno sebagai "penggagas istilah" Pancasila untuk nama dari Dasar Negara, (disampaikan pada tanggal 1 Juni 1945), tokoh-tokoh Islam yang kharismatik dan tokoh-tokoh nasionalis lainnya., memberi isi terhadap Pancasila untuk Dasar Negara.
Dengan demikian, seharusnya kita bukan sekedar mengucapkan, menghafal, melainkan memaknai dan menjadikannya sebagai tuntunan perilaku dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara harmonis.
Akan tetapi, beberapa dekade yang telah berlalu, Pancasila pernah menjadi suatu legitimasi terhadap berbagai macam kepentingan pada masa Orde Lama maupun Orde Baru.
Pada masa Orde Lama, Pancasila seolah-olah merupakan legitimasi bagi keberadaan ideologi-ideologi -baik yang berhaluan kiri maupun kanan- yang berusaha masuk ke dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Hal tersebut menyebabkan Pancasila seolah-olah sebagai perahu yang mengantarkan ideologi-ideologi tersebut ke dalam bangsa Indonesia.
Akibat dari pemahaman tersebut, meletuslah suatu peristiwa yang menjadi noda hitam bagi bangsa Indonesia yaitu terjadinya peristiwa Pemberontakan G 30 S/PKI atau Gestok pada tahun 1965, yang dilancarkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab yang tidak bisa disinyalir siapa pihak tersebut hingga sekarang.
Hal ini disebabkan tidak adanya dokumen sejarah yang obyektif dan orang yang bertanggung jawab terhadap dokumen tersebut. Meskipun banyak diskusi-diskusi yang berkaitan dengan hal tersebut, akan tetapi belum mencapai kepada suatu kesimpulan yang rinci dan paripurna untuk menyelesaikan masalah ini.
Peristiwa tersebut menjadi pintu akhir bagi Orde Lama dan menjadi gerbang awal bagi Orde Baru. Pada masa Orde Baru, Pancasila juga dijadikan legitimasi terhadap kelangsungan kekuasaan pemerintahan itu. Hingga berujung pada suatu asumsi pada masa itu, bahwa Pancasila tidak lebih dari suatu alat untuk mempertahankan kekuasaan.
Hasilnya berimplikasi terhadap banyaknya penyimpangan yang seolah-olah merupakan implementasi dari Pancasila. Hal tersebut mencapai klimaksnya pada suatu peristiwa demonstrasi besar-besaran pada Mei 1998 yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, khususnya mahasiswa.
Dua rezim penguasa tersebut telah mengindoktrinasi masyarakat Indonesia selama kurang lebih 50 tahun lamanya, dengan suatu pemahaman yang terkotak-kotak. Pemahaman tersebutlah yang justru memperlemah stabilitas Pancasila sebagai ideologi sekaligus filsafat bangsa Indonesia. Kini, memasuki era reformasi,
Pancasila menjadi apriori bagi masyarakat Indonesia yang menganggap Pancasila hanya sekedar indoktrinasi suatu kepentingan. Padahal, tanpa mengetahui hakikat kita akan terjerat dalam pemahaman yang "jalan di tempat".
Lantas bagaimana seharusnya tindakan kita ? Merefleksikan Pancasila sebagai isi dan jiwa dari bangsa Indonesia untuk selanjutnya diinternalisasi oleh masing-masing pribadi serta menjadi dasar implementasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penulis : Rizky Saeful Hayat
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Islam Nusantara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H