Setiap malam satu muharram atau disebut dengan malam satu suro diadakan tradisi baritan di daerah Blitar. Tradisi ini biasanya dilakukan di perempatan jalan, tetapi terkadang di pertigaan jalan. Semua warga berkumpul dan membawa takir yang disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga. Hal-hal yang dilakukan ketika baritan adalah membaca tahlil bersama lalu dilanjutkan dengan memakan takir yang dibawa tadi. Sebelumnya takir yang dibawa tadi sudah ditukar dengan takir milik orang lain. Tradisi ini dipercaya dapat menolak balak yang akan terjadi. Jadi, setiap malam suro tanpa adanya instruksi setiap warga sudah mempersiapkan segalanya, baik dari takirnya dan juga tempat yang akan digunakan untuk melaksanakan tradisi baritan.
Baritan berasal dari kata "mbubarake peri lan setan" yang memiliki arti membubarkan peri dan setan. Asal mula dari tradisi ini masih belum jelas tetapi dari sumber kemendikbud, dalam buku Verifikasi Nilai Budaya Agraris Baritan dijelaskan bahwa tradisi ini bermula karena pada zaman dulu sering terjadi banyak bencana, sehingga para warga mengadakan acara slametan untuk mengatasi bencana tersebut. Selain itu, ada asal usul lain dari Baritan. Kita ambil kisah dari masyarakat Pemalang. Semua itu bermula dari hukuman Dewi Lanjar kepada masyarakat dengan memberikan wabah penyakit karena tidak memberikan sesaji. Dari situlah, kemudian masyarakat mengadakan ritual sedekah laut. Keyakinan akan fenomena tersebut seperti kepercayaan animisme dan dinamisme. Lalu kemudian datanglah agama Hindu-Budha dan Islam yang mengakulturasi budaya tersebut menjadi baritan yang kita ketahui sekarang. Merubah tradisi masyarakat yang sudah dipercayai secara turun temurun sampai sekarang tidaklah mudah oleh sebab itu dilakukan akulturasi agar agama Islam bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat.
Oleh sebab itu, baritan dipercaya sebagai tolak balak atau yang bisa kita sebut agar terjauh dan terhindar dari musibah maupun bencana. Jika pada jaman dahulu baritan dilakukan dengan memberikan sesaji maka sekarang penyelenggaraan tradisi baritan diubah dengan adanya tahlilan dan doa bersama. Dimana hal itu dilakukan untuk meminta perlindungan kepada Allah swt agar terhindar dari musibah yang akan terjadi atau setidaknya diringankan dari musibah. Setelah melakukan tahlilan dan doa para masyarakat bersama-sama memakan takir yang dibawa. Untuk takir yang dibawa juga memiliki keunikan yaitu alasnya atau tempat untuk dijadikan takir dibuat dari daun pisang yang dibentuk seperti besek dan diatasnya disematkan janur. Keunikan tersebut juga memilik arti tersendiri. Daun pisang diyakini sebagai simbol dari kesederhanaan, karena melakukan keselmatan tidak perlu mewah tetapi bermanfaat. Untuk janurnya, masyarakat mengartikan janur "sejating nur" yang artinya cahaya sejati karena sejatinya manusia butuh cahaya dari Allah untuk mengetahui dengan jelas perbedaan yang baik dan yang buruk.
Jangan lupakan jumlah takir yang harus dibawa, selain harus berjumlah sesuai anggota keluarga juga harus ditambahkan minimal satu takir untuk selamatannya. Semisal dikeluarga kita memiliki 8 anggota keluarga, maka jumlah minimal yang harus dibawa adalah 9. Setelah membawa takir dari masing-masing anggota, takir itu nanti akan ditaruh menjadi satu tempat di tengah-tengah orang. Setelah pembacaan doa-doa para masyarakat akan membagikan takir yang telah dikumpulkan. Pembagiannya sendiri diberika secara acak, jadi setiap orang yang mendapatkan harus ikhlas dengan apa yang diterima tanpa harus memilih-milih, Dari pemaparan diatas bisa kita lihat, bahwa adanya akulturasi budaya dengan agama. Berawal dari kepercayaan kepada fenomena alam dan kepercayaan terhadap Dewi Lanjar lalu diubah menjadi doa meminta perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam buku Islam dan Budaya Jawa karangan Drs. Abdullah Faishol dan Dr. Samsul Bakri dijelaskan bahwa Islam dalam memandang budaya dibagi menjadi 3.
Pertama, yaitu menerima atau taslim selama hukum ketentuan yang belum pasti ada. Semisa kebudayaan yang ada tidak bertentangan dengan hukum agama Islam. Contohnya, permasalahan hukum mas kawin karena besar kecilnya bentuk mahar disuatu daerah berbeda-beda. Kita ambil contoh mahar yang ada di provinsi Aceh. Semakin tinggi pendidikan wanita yang akan dinikahi maka akan tinggi pula mahar yang akan diberikan. Jika di Jawa, pemberian mahar disepakati oleh kedua belah pihak. Jadi, besar atau kecilnya mahar tergantung dari kesanggupan mempelai laki-laki dan juga permintaan mempelai perempuan. Karena sejatinya, mahar yang diberikan hendaknya tidak memberikan tetapi juga tidak merendahkan pihak wanita.
Kedua, yaitu mengubah atau taghyir-rekonstruksi. Jika didapatkan adanya unsur yang bertentangan maka diubah agar sesuai dengan syariat Islam. Jadi, budaya yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam maka akan dirubah agar menjadi Islami. Contohnya seperti baritan yang sudah dijelaskan sebelumnya, bagaimana yang asal mulanya untuk ritual yang mempercayai alam dan Dewi Lanjar atau bisa disebut sebagai makhluk gaib dirubah menjadi doa untuk meminta perlindungan kepada Allah. Mungkin alasan kenapa baritan diakulturasi agar sesuai syariat Islam yaitu karena orangnya. Orang jawa sangat mempertahankan budayanya sama seperti masyarakat lain yang memiliki naluri untuk mempertahankan budayanya meskipun sudah meninggalkannya. Itu semua dipertahankan karena masyarakat meyakini bahwa kebudayaan yang sudah turun menurun akan berguna sebagai pedoman hidup kedepannya. Maka cara yang paing halus untuk menghilangkan budaya yang memiliki unsur yang bertentangan dengan syariat Islam yaitu dengan merubahnya. Dimana tradisinya atau budayanya tetap ada tetapi dalam proses ritualnya tidak menyalahi syariat. Dalam baritan sendiri yang mulanya rituanya menyembah alam, diganti dan ditambahi dengan lantunan-lantunan doa memuji dan merayu Tuhan Yang Maha Esa.
Ketiga, yaitu menolak atau mardud yang dimana sudah jelas dan nyata bahwa budayanya sudah beertentangan dengan syariat Islam. Semua unsur yang ada sudah jelas tidak bisa dirubah dan sudah menyalahi syariat. Contohnya yaitu "ngaben" atau pembakaran mayat yang dilakukan oleh umat Hindhu. Dalam Islam saja lebih tepatnya dalam kitab-kitab fiqh dijelaskan bahwa salah satu adab memandikan jenazah yaitu harus dengan perlahan-lahan karena mayat merasakan sakit yang luar biasa. Apalagi jika dibakar, tidak bisa dibayangkan seberapa menyakitkannya itu bagi si mayat.
Baritan bisa dikatakan sebagai salah satu akulturasi budaya Jawa dengan agama Islam. Dimana unsur-unsur yang bertentangan dengan agama dirubah dan dimasuki unsur agama Islam. Salah satu cara seperti akulturasi bisa menarik masyarakat untuk mengikutinya. Tanpa sadar mereka sudah mengikuti agama Islam lalu mereka akan mulai seperti penasaran dan kemudian masuk kedalam Islam. Budaya seperti ini seharusnya tetap kita lestarikan sampai nanti karena mengingatkan kita tentang budaya Jawa tetapi tidak bertentangan dengan Islam. Budaya seperti ini jika ditinjau dari aspek sosial juga memperlihatkan bahwa dengan adanya tradisi sperti ini bisa mempererat tali silaturahmi. Itu semua bisa terlihat ketika semua orang berbondong-bondong dan berkumpul menjadi satu disuatu tempat pasti akan terjadi interaksi sosial yang baik. Yang biasanya jarang bertemu dengan tetangga pada saat acara itu bisa bertemu dan berbincang-bincang. Memakan makanan yang dibungkus dengan daun pisang juga menandakan kesederhanaan. Meskipun sederhana tetapi memiliki banyak manfaat terutama dalam hal mempererat jalinan persaudaraan antar sesama. Diharapkan untuk kedepannya tradisi ritual baritan tetap dilaksanakan tanpa harus menghilangkan unsur Jawa tetapi tidak melanggar syariat agama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI