Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari Soedirman, Kenapa Andika Perkasa Bukan The Next Panglima TNI?

Diperbarui: 22 September 2020   12:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengapa Andika Perkasa Bukan The Next Panglima TNI?

Ketika Andika Perkasa diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, aktivis HAM menyatakan kekecewaannya terhadap Jokowi. Jokowi dinilai tidak memiliki komitmen terhadap penuntasan masalah HAM masa lalu. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dalam ucanews.com, mengatakan bahwa Andika bukan seorang reformis.

Hamid mengatakan akan sulit bagi Andika untuk merevisi undang-undang tribunal militer yang telah banyak memakan korban sipil. Sebab, Andika dianggap dekat dengan orang-orang yang diduga pernah melakukan pelanggaran HAM di masa lalu.

Bonar Tigor Naipospos, wakil ketua Setara Institute for Peace and Democracy, sebagaimana ditulis ucanews.com, dengan lebih gamblang mengatakan bahwa Andika tidak hanya dekat dengan tokoh pelanggar HAM tetapi juga diduga terlibat di dalamnya. Pada tahun 2001, Andika diduga terlibat dalam pembunuhan Dortheys Hiyo Eluay di Papua. Theys meregang nyawa usai menghadiri undangan peringatan Hari Pahlawan di markas Kopassus di Jayapura.

Saat itu empat perwira dan tiga serdadu Kopassus diadili lantaran kasus tersebut, Andika bukan salah seorangnya.

Surat yang dikirim oleh Agus Zihof, ayah seorang terdakwa, Kapten Inf. Rionardo, menyeret nama sang mantu ke pusaran hitam pelanggaran HAM di Papua. Surat Agus kepada Kasad Ryamizard Ryacudu itu mengisahkan betapa anaknya dipaksa mengakui pembunuhan Theys oleh seorang yang bernama Mayor Andika.

Dengan demikian pendapat bahwa Andika bukan seorang reformis sangat tepat, sebab ia terganjal kasus HAM berat di masa lalu. Ini menjadi alasan mendasar mengapa ia tidak bisa menjabat sebagai Panglima TNI. Pemimpin sipil membutuhkan dukungan militer untuk menyelesaikan masalah hak asasi manusia. Tanpa dukungan militer, penyelesaian itu akan sulit.

Selain itu, sekarang kita lihat, bagaimana Andika Perkasa membangun citranya saat mengawal kasus Covid-19. Bagi Andika, citra perlu digerek agar posisi Panglima bisa didapatkan. Kalau itu terwujud, jalan menuju kursi Capres terbuka lebar. Pemolesan citra dimulai ketika Andika dipilih sebagai Wakil Ketua Komite Pelaksana Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional mendampingi Menteri BUMN, Erick Thohir.

Semua orang bertanya, apa kapasitas Andika Perkasa, seorang Militer, dalam bidang Ekonomi? Publik menilai, penetrasi militer dalam posisi-posisi sipil sudah terlampau dalam.

Bila Andika adalah seorang pemimpin yang baik, ia akan memahami bahwa posisi itu tidak tepat untuknya. Menghargai supremasi sipil di negara ini sangat penting dan kedisiplinan militer untuk tetap berada di barak harus terus dilakukan agar tidak terjadi lagi kebangkitan neo orde baru yang otoriter. Namun karena tujuannya adalah meningkatkan citra, apa pun diambil melalui lobi-lobi kekuasaan yang memang sangat dimiliki oleh Andika ketimbang petinggi militer lain di negeri ini.  

Selain itu, niatnya membawa solusi yang baik bagi bangsa, obat antivirus yang diklaim dirinya dalam penelitian bersama Unair malah ditolak oleh BPOM, karena proses pembuatan obat tersebut tidak sesuai prosedur ilmiah. Beruntung publik acuh tak acuh dengan niat ini. Tentu juga karena penetrasi informasi dari WHO yang kredibel sudah membuat publik melek. Tetapi mengapa seorang Jenderal mesti ikut campur terlalu dalam pada urusan ilmuwan yang merupakan wilayah utama kerja masyarakat sipil di Republik ini?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline