Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari Pengalaman Konsumen, Cara Going Concern Bisnis

Diperbarui: 19 Juli 2024   18:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

belanja online dapat menjadi input bisnis kita sumber gambar jurnal pos

Tulisan ini terinspirasi oleh artikelnya sahabat kompasianer Indria Salim. Meskipun sudah pernah mendengar dan membaca kisah inspiratif bisnis dan sebagainya---ternyata kisah "Pengalaman Seharga Empat Puluh Empat Ribu Rupiah" , milik Mbak Indria ternyata inspiratif untuk disimak.

"Untuk semua hal di dunia, mungkin tidak ada yang kebetulan. Pertanyaan sekilas di benak, apakah kesuksesan itu via terkenal dulu baru semua terkait itu jadi viral. Atau viral dulu, akhirnya jadi terkenal. Ini konteks jalan rezeki, atau definisi "terbatas" tentang kesuksesan. Dan dalam melakukan hampir semua hal, totalitas usaha itu perlu.". Kurang lebih itulah inti yang aku tangkap dan menjadi sentilan buatku.

Dua hal tersebut dapat menjadi alasan sebuah bisnis yang dirintis atau telah berjalan akan bertahan lama--alias going concern.

Sebenarnya sejak non aktif dari dunia ke-NGO-an, rencana untuk memulai bisnis langsung terbuka, meskipun harus mulai dari nol, dari rumah atau jika terpaksa bekerja jadi chef jalanan. Bukan apa-apa,  selain mempraktekkan passion bisnis plus masak, (padahal inti sebenarnya menjaga konsistensi dompet). Untuk hasil yang baik, kita butuh totalitas. 

Ini ada hubungannya dengan kisah belanja Indria, sebagai konsumen yang mengkritisi produk, bahwa dalam kondisi bisnis baru dimulai atau sudah berkembang, totalitas itu tetap harus dijaga. 

Aku yang pebisnis pemula, meskipun  bukan jenis perfeksionis, tapi kalau soal coba-coba produk, hasilnya berharap yang terbaik. Dan tak main-main meskipun baru membuat prototipe-nya.

merek roti jadul yang tahan jaman sumber gambar bukareview

Berbisnis Dengan Rasa

Kata temanku, bisnis itu yang penting bisa tetap untung. Tapi jika abai soal produki dan ke-ajegan kualitas, atau dengan bahan baku tak sehat--adalah sebuah titik lemah yang harus diwaspadai. Semua harus terukur agar kualitas terjaga.

Bagi pebisnis pemula, sebaiknya yang harus dijaga adalah soal takaran. Mengapa?. Katanya, takaran akan memudahkan mengontrol dan mengatur konsistensi produk.  Kebiasaan dan takaran akan membedakan pemahamanantara, takaran "garam secukupnya" dengan "sejumput garam" dengan jari seorang koki yang hobi masak atau memang dilahirkan dengan talenta masak, apalagi chef top markotop.

Maka tidak heran jika produk masakan tertentu bisa konsisten akan tetap sama enaknya, apakah dengan "garam secukupnya" atau "sejumput garam". Sehingga "rumus sejumput garam" itu juga berkaitan dengan proses (paham substansi takaran kuliner ), dan kaitannya dalam jangka panjang dengan totalitas dan jalan rezeki juga. (rasa-mutu yang konsisten dan pelanggan yang setia dengan produk).

Bagi seorang pedagang makanan, takaran atau ukuran,  dan kualitas harus terus menjadi patron utama, sekalipun harga tetap sama dan ukuran sedikit mengecil, namun rasa dan kualitas tetap tak berubah.

Bayangkan jika kejadian iklan di medsosnya-sedap beneer!, tapi ternyata setelah proses pengiriman ternyata kualitasnya menurun tak sesuai harapan (bukan sekedar rasa---tapi juga kemasan yang membuat rasa berubah---atau proses pengolahan yang juga membuat --produk seperti gorangan jadi tengik) sehingga butuh evaluasi kembali. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline