Lihat ke Halaman Asli

Solilokui - Sebuah Senyum yang Tak Bisa Bertahan Lebih dari Sedetik

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth



...Maaf, aku menyerahkan pekerjaan yang kau harapkan aku lakukan untuk kita rundingkan


Aku ingin berbicara, temui aku di pantai. Kuparkir motorku di rumah Tenri setelah mengirimi mu pesan singkat. Kau menemukanku ketika memotret pepohonan. "Sendirian?" tanyaku, "Iya" sahutmu setelah tersenyum padaku. Aku memukul-mukul pasir, "Duduklah". Kau terdiam sesaat lalu bergerak ketika aku menatapmu, tatapan menunggu kau duduk di sampingku. Kau ingin bertanya sudah berapa lama aku disini bersama kamera kakak ku dan novel yang selalu kubawa belakangan ini, mungkin atau boleh jadi hanya perkiraanku. Karena kau diam saja semenjak duduk di atas pasir bersamaku.

Aku menarik napas tidak seperti biasanya, ada yang perlu kita bicarakan tapi tidak satupun dari kita yang tahu cara memulainya. Lalu aku merubah posisi duduk ku, menghadapmu. "Ehh, Aku ingin berbicara... tentang apa yang telah kita mulai" kau tetap saja menatapi pantai yang sedang surut, semoga saja perhatianmu tertuju padaku. Aku bisa mengerti, maksudku tak apalah kau tidak merubah posisi duduk dan tatapanmu. Aku tahu kau sedang menyimak dan mencoba untuk tidak menarik kesimpulan secepat mungkin.

Kau kemudian mulai bercerita tentang kenangan-kenangan yang kau rindukan, kau tertawa. "Tidak terasa sudah selama ini yah?" tanyamu polos seolah tak ada lagi kalimat lain yang tepat untuk menggambarkannya. "Ah, jangan-jangan mati rasa?" jawabku sedikit bercanda, maksudku apakah yang membuat sebuah penantian tidak terasa seperti yang kebanyakan orang rasa. "Apakah keyakinan yang kuat atau sikap sabar menguatkan penantian ini?" Aku bertanya pada siapapun sepertinya, tapi saat ini aku bertanya untuknya, perempuan yang menemaniku duduk di pantai yang sedang surut.

Mungkin kita butuh waktu, jangan sampai memaksakan diri. "Ada banyak kekhawatiran dalam benak ku dan itu bodoh menurut ku, dan kebodohan adalah hal yang wajar". Aku mengucapkan begitu banyak kalimat-kalimat abstrak. "Kebodohan sepertinya mendewasakan" dan masih banyak lagi yang kukatakan, tapi sebelumnya kuingatkan kepadamu tentang istilah bodoh itu sendiri. Semoga saja kau tidak menggunakan terma bodoh sebagaimana terma yang digunakan orang tua karena tidak sanggup mendidik anaknya dan menyalahkan anaknya, atau marginalisasi seorang guru terhadap beberapa siswa-siswanya, atau pengabaian kepada seorang teman hanya karena buah pikirannya tidak dapat kau terima, atau keyakinan orang lain yang tidak kau rasakan lalu mengambil andil begitu banyak untuk menilainya.

"Sejauh mana kita akan berusaha?"

"Aku butuh kepastian yang tegas!"

"Apa aku cukup berarti untukmu?"

"Aku ingin menikah di usia muda!"

"Kau tahu apa harapan terbesarku?"

"Kita tak pernah menentukan kapan ini berakhir!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline