Entah mengapa, semakin banyak masalah yang merundung semakin sering pula diri ini tertawa bahkan tidurpun semakin lelap. Parahnya lagi kisah tentang tawa dan lelapnya tidur ini tak ada yang tahu, hingga beberapa dari mereka menganggap diri ini sebagai orang yang bahagia dan santai. Masalah kali ini datang dan bermula dari kemalasan diri ini untuk melakukan perkuliahan pada Universitas yang telah kululusi lewat jalur bebas tes yang dulunya diri ini begitu bersyukur akan kelulusan itu. Jurusan Psikologi UNM tepatnya di Gunung Sari, jurusan yang cukup banyak peminatnya.
Jika diri ini kembali mengingat-ingat sebenarnya sedari dulu kesadaran akan konsekuensi dan imbas perilaku malas ini telah lama ada dalam benak namun entah, mungkin karena hati telah sebegitu kerasnya hingga tak peduli lagi dan tak ada lagi penyesalan. Atau mungkin dikemudian hari barulah diri ini betul-betul menyesal setalah tak ada lagi jalan kembali. Sebenarnya di mimpipun diri ini senantiasa menginginkan yang terbaik agar tak ada hati yang tersakiti, terutama Ibu serta saudara-saudaraku.
Seringkali diri ini memancing urat syaraf bersitegang, seringkali diri ini memicu air mata bagi yang lain dan seringkali pula tak ada perubahan atas setiap kesalahan-kesalahan yang diri ini perbuat. Tuhan ampun, ampuni diri ini jika membuat Engkau murka, jika membuat hamba-hambamu yang lain terluka, jika menjadi mahluk ciptaanmu yang congkak dan sombong lupa akan kebesaranMu. Asgtagfirullah, astagfirullah al adzhim, wa atubu ilaih, astagfirullah rabbal ba raya. Ampun Tuhan, ampun.
Lucunya di setiap paragraf yang diri ini buat masih saja ingin membangkang, kasihan, kasihan sekali diri ini. Jika ada sedetik untuk bebuat baik maka ada sepuluh detik untuk membangkang ditambah lagi diri ini telah merasa bahwa tak ada yang benar-benar bisa dipercaya, seakan-akan mencurigai mereka yang lain yang ingin membantu. Seperti hati yang telah dibuat bingung oleh syaitan kerana hati yang telah terjebak dan jauh terpuruk dalam gelapnya keambiguan. Diri ini tetap berharap akan kebaikan yang Maha, namun sebagian diri ini menganggap bahwa Tuhan telah memalingkan wajah.
Ibu bolehkah aku bertanya?
“Maukah engkau memaafkan anakmu ini yang membandel”
Segudang sumpah telah kau titipkan padaku tanpa jendela dan etalase
Kakak-kakak dan adikku bolehkah aku menyapa?
“Apakah ada yang kalian butuhkan dari saudaramu ini”
Tanpa terdengar keluhan kalian akan laku yang telah kuperbuat
Diri bolehkah aku meminta?
“Bangun”
Berhentilah bermain-main dan mementingkan perasaanmu saja
Sudahlah, menghabiskan waktu dan bersusah payah untuk merangkai dan menyusun alur yang indah tanpa ada perubahan apapun hanyalah sekedar pelairan dari rasa bersalahmu
Dari pada sekedar menghayal dan selalu saja melewatkan kesempatan, mengabaikan tiap detik-detik perubahan yang datang menghampiri sertasenantiasa menyalahkan orang lain
Alah, kau juga tak ubahnya denganku yang tak mampu melakukan apa-apa berhenti mengacungkan telunjukmu lalu kemudian merasa kau telah berbuat yang seharusnya
Jangan berlagak tidak peduli dan biasa-biasa saja, aku ini meski terpuruk tak seperti kau yang merasai hampa dan kesedihan
Meski air mata ini berasal dariku tapi sebenarnya ini karena menghargai perhatianmu pada dia yang tak pernah menganggap kita ada bersamanya
Kasihan, aku kasihan padamu yang mencoba nampak tegar di depankupadahal bagiku ketegaran bukanlah jalan satu-satunya
Begitu pula dengan diriku, bahkan rasa kasihanku sepuluh kali lipat darimu dengan lantangnya kau menganggap dirimu bakal lepas dari kemelut ini padahal muaranya akan berakhir di ujung kakimu
Itulah resiko yang harus aku tanggung, tapi paling tidak aku telah berbuat sebisaku untuk dia agar terhindar dari kemelut sedangkan kau tak ubahnya orang lain yang tak memperdulikannya, kau lepas tangan
Bagaimana tidak! seperti halnya kita, kau mengingatkan akupun begitu, kau mencaci akupun begitu, kau berbagi akupun begitu dan jika dia acuh akupun begitu. Kau terlalu baik padanya meski dia acuh engkau tetap saja berdo’a untuknya, memohon dan meratap
Karena begitulah yang terjadi seharusnya
Kalimat itu harusnya kau teriakkan dengan lantang di telinganya, karena jika hanya sekedar berbisik atau berbicara pelan dia bisa lebih acuh dari ketidak pedulianku lagi padanya
Begini saja,
Aku mendengarkan, lanjutkan pembicaraanmu sembari kurekam agar aku tak lupa sehingga tak ada lagi alasan untuk tak tahu harus berbuat apa dan acuh
Kita berdo’a semoga yang Maha menyinari dia dengan Rahmat dan Hidayah yang melimpah ruah dan tiada berujung
Tapi sedari tadi kau berucap tentang bertindak dan berbuat, mengapa kali ini kau mengajakku untuk berdo’a
Sedari tadi kau juga berucap aku mendengarkan, lanjutkan pembicaraanmu tapi mengapa kau memotong pembicaraanku dan bertanya mengapa, coba tanyakan saja pertanyaan itu pada dirimu lalu jawab sendiri
Katakan saja langsung, tak usah bertele-tele seperti itu jangan buat akuberpikir mendalam dengan mood yang seperti ini
Tuh kan, berpikir saja kau malas apa lagi jika aku menyarankan untuk bertindak karena itu sebagai tanggung jawabmu
Aku jadi iri denganmu yang tak usah melakukan apa-apa
Apa kau lupa dengan kalimat bahwasanya muara akan berakhir tepat di ujung kakiku, apa yang kau iri-kan dariku
Maaf, kalau begitu mulai sekarang sebaiknya kita bekerja sama
Ya, kembali bekerjasama tapi sebenarnya boleh saja kita berdiskusi panjang lebar tentang perihal dan persoalan agar hubungan kita semakin dekat hingga akhirnya kita benar-benar mengerti ujung kerjasama kita bermuara dimana
Aku mengerti, apa boleh tengah malam nanti aku menemuimi sembari membawa beberapa bungkus makanan buatmu
Tentu saja, aku menerima setiap kebaikan yang datang
Ajari aku juga agar bisa sepertimu, Oh iya apa ada yang kau inginkan malam nanti untuk akau bawa
Aku akan mengajarimu tentunya, karena kita ini tim dan telah saling berjanji untuk bekerjasama, tak usah bawa yang lain cukuplah yang telah kau niatkan untuk kau bawa malam ini
Satu lagi, tolong ingatkan aku berkali-kali jika aku kembali acuh terhadap tanggung jawabku
Insya Allah, tapi paling tidak kau juga jangan lagi mengantongi batu itu lagi sekarang buang jauh-jauh. Kita sekarang harus saling lebih memahami
Aku sepertinya akan suka denganmu, kau begitu toleran
Kalau aku sedari dulu menyukaimu, karena sebenarnya kau begitu lembut dan senantiasa memahami. Semoga hari kemarin tak akan lagi terlukis di langit pagi esok hari dan aroma embun kian semerbak, tak ada lagi polusi yang terjadi
AminAmin
Boleh aku bertanya sesuatu
Tak usah akan kuberikan saja jawaban pertanyaanmu; Aku tak akan pernah bosan hanya saja akan lebih indah jika kita berbincang lewat isyarat semata dalam hijab yang telah diciptakan oleh yang Maha
Aku bingung, tapi aku mengerti
Aku paham kebingunganmu
Kau sepertinya selalu memahami
Tidak juga
Apa misalnya
Rahasia
Bukankah itu kau
Bukan
Berarti ada yang lain
Apa perlu aku jawab
Tak usah
Yang penting kita berdua ketahui adalah kita telah bertanggung jawab atas kewajiban kita masing-masing dan saling bersinergi, sisanya biarlah menjadi harmoni
Mengapa pembicaraanmu semakin sedikit saja
Karena kita telah mulai menyibak hijab dan saling memahami
Aku mengerti, inilah yang kau maksudkan isyarat itu
Begitulah
Oh iya, sekedar menjalani keharusanku maka kupertanyakan karena aku nampak, apa kali ini aku tidak usah terburu-buru dan melakukan sesuatu yang kurang berkenan di dirimu
Telah kuperingatkan sisanya terserah kau dan dia, sedari tadi dia memperthatikan pembicaraan kita tanpa sadar kalau yang kita bicarakan itu dia, sampaikan salamku padanya
Sip, makasih
Sudah seharusnya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H