Saat masih duduk dibangku sekolah dasar, saya adalah salah satu siswa yang tidak pernah merasakan menjadi petugas upacara bendera yang diadakan tiap hari senin. Jangankan pengibar bendera, sekadar membaca teks Pancasila, UUD 1945, janji murid, bahkan dirigen yang mengiringi tim paduan suara pun saya tidak pernah. Padahal ingin rasanya berada dibarisan paling depan. Barisan petugas upacara bendera, lengkap dengan atribut merah putih dibadan. Pun saat dibangku SMP dan SMA, apalah daya si pemilik tubuh pendek ini tak terpilih juga. Cukuplah imej pengibar bendera itu haruslah yang bertubuh tinggi, tapi jangan sampai pembaca teks pancasila dan lainnya juga harus bertubuh tinggi pula.
Upacara bendera adalah salah satu cara dalam menumbuhkan rasa cinta tanah air, semangat patriotisme, nasionalisme, budi pekerti dan karakter bangsa, terutama nilai-nilai kebangsaan dan kebhinekaan yang terkandung dalam setiap urutan kegiatan/ tata upacara bendera. Dan menjadi petugas upacara adalah suatu kebanggan tersendiri bagi anak-anak yang terpilih.
Berangkat dari keresahan saya yang tidak pernah terpilih menjadi petugas upacara bendera itulah maka ketika saya menjadi seorang guru, saya ingin semua anak didik saya terlibat. Setiap kelas kami mendapat tugas menjadi petugas upacara bendera, formasi petugas upacaranya selalu berbeda. Saya ingin semua murid merasakan menjadi pengibar bendera, pembawa acara, pembawa teks pancasila, pembaca teks janji murid, UUD 1945, dan dirigen. Pun untuk pemimpin upacara dan pleton-pletonnya. Saya pun terima resiko memberikan waktu lebih untuk melatih mereka.
Tidak terbayar melihat wajah mereka yang senang mana kala nama mereka disebut dalam formasi petugas upacara, ada yang tidak mau karena merasa tidak bisa, malu, dan sebagainya. Tapi saya selalu katakan pada mereka, mereka bisa, mereka hebat, ibu tetap bangga kalaupun nanti ada kesalahan. Pun orang tua mereka, mereka senang putra-putrinya terlibat menjadi petugas upacara.
Keputusan saya yang mengganti formasi tiap kali bertugas, sering sekali mendapat kritikan dari guru senior. Ada yang mengatakan si A tidak pantas, si B tidak ada suaranya, si C slengekan kenapa dilibatkan, bla.. bla.. bla.. lalu saya jawab, "Justru inilah ajang mereka dalam belajar. Toh nanti ketika anak-anak ini naik kelas dan ibu-ibu sekalian kedapatan menjadi wali kelasnya, kalian tidak repot menjaring petugas upacara bukan? karena dari sekarang sudah terlihat.". Jawab saya "Semua murid berhak menjadi petugas upacara, Bu.". Kata saya lagi.
Momen mereka menjadi petugas upacara bisa jadi hal pertama dan terakhir. Terlebih untuk siswa-siswa yang dianggap tidak berpotensi, insecure, pendiam, slengekan. Karena dijenjang berikutnya, bisa jadi mereka merasakan apa yang dulu saya rasakan, tidak dipilih menjadi petugas upacara bendera. Saya ingin kelak ketika mereka sudah dewasa, mereka punya cerita bahwa dulu mereka pernah menjadi petugas upacara bendera di tingkat sekolah dasar.
Hal kecil menurut kita ternyata berdampak besar untuk mereka. Itulah menurut saya pentingnya salah satu peran guru agent of change (agen perubahan) yang mampu membangkitkan motivasi siswa agar mereka dapat meraih prestasi yang diinginkan. Karena tingkat sekolah dasar adalah kesempatan guru menggali potensi siswa, minat dan bakat mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H