Lihat ke Halaman Asli

Heznie Wulandari

Guru Sekolah Dasar

Ketika Anak Dipanggil Tuhan Lebih Dulu

Diperbarui: 21 Desember 2023   17:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gambar sumber pixabay.com

Mungkin kalian pernah mendengar atau membaca tulisan seperti ini, "Suami yang ditinggal mati istrinya disebut duda, istri yang ditinggal mati suaminya disebut janda, anak yang ditinggal mati oleh ayahnya disebut yatim, anak yang ditinggal ibunya disebut piatu. Namun mengapa tidak ada sebutan untuk orang tua yang kehilangan anaknya?  jawaban dari kalimat tersebut adalah karena tidak ada kata-kata yang menggambarkan rasa sakit atas kehilangan seorang anak".

Saya amat sangat setuju dengan ungkapan di atas. tidak ada kata-kata yang dapat mewakili rasa sakit kehilangan seorang anak dan tidak ada kata penghibur untuk orang tua yang anaknya telah tiada. Terlebih bagi seorang ibu. Ibu yang selama sembilan bulan lebih mengandung, yang mencintai buah hati yang dikandungnya sejak hari pertama mengetahui kehamilannya.  

Saya adalah salah satu ibu yang kehilangan anak. Bukan hanya satu, tapi dua. ya, Anak pertama saya meninggal di usia 15 bulan atau 1 tahun 2 bulan. Kehilangan Hanif (nama anak pertama saya) adalah titik terberat dalam hidup saya. Bagaimana tidak, kami menunggu kehadirannya tumbuh di rahim saya menjelang pernikahan kami yang ke-9 tahun. Dan kami harus merelakan kepergiannya tepat 6 hari setelah tanggal pernikahan kami yang 11 tahun.  Saya hanya di amanati dua tahun merasakan nikmatnya menjadi ibu. Kemudian tepat satu tahun kepergian anak kami, kembali saya di anugerahi kehamilan kedua, namun di usia kehamilan menginjak bulan ke-4 saya mengalami keguguran dan harus dikuratase. 

Banyak para ulama yang mengatakan bahwa orang tua yang ditinggal anaknya adalah orang tua yang beruntung, karena surga adalah ganjaran bagi orang tua yang rela dan sabar atas ketetapan yang terjadi. Orang tua yang ikhlas atas takdir yang maha kuasa telah disiapkan surga karena syafaat (pertolongan) anaknya.  lalu banyak juga teman dan kerabat yang selalu mengatakan kata-kata penghibur, "tidak apa-apa, mereka menjadi tabungan di akhirat kelak..".

 Lalu dengan berkelakar saya jawab, "Iya saya punya tabungan di akhirat, tapi di dunia saya tidak punya pegangan". Ah  Seandainya mereka tahu, tidak ada kata-kata yang dapat menghibur rasa sakit saya ini. Meskipun hadiahnya surga, tidak ada ibu yang rela kehilangan anaknya.

Butuh waktu untuk mengikhlaskan kepergian buah hati. Setiap orang berbeda-beda dalam menyikapi kepergian anaknya. Saat itu selama 40 hari sejak kepergian  anak pertama saya, saya tidak keluar rumah. Saya benar-benar terpuruk, kegiatan saya hanya menangis dan meratapi kepergian anak saya. Saya hanya menerima tamu saat tahlilan hari pertama, ketiga, satu minggu dan hari ke 40 kepergian anak saya. Diluar itu saya tidak ingin bertemu dengan siapapun. Tidak ingin berbicara dengan siapapun. 

Untungnya saat itu ada peran orang tua saya. walaupun rumah mereka jauh (Orang tua tinggal di Bekasi, saya di Jakarta), mereka datang setiap hari untuk menghibur dan membawakan saya makanan, karena benar-benar selam 40 hari kegiatan saya hanya menangis, sayapun mengajukan cuti mengajar karena saya belum siap untuk menata kembali hidup setelah kehilangan anak saya.

Ternyata saya lebih kuat

Sebelum mempunyai anak, saya biasanya dua kali dalam setahun pasti melakukan solo travelling, sekadar me-refresh pikiran. Namun setelah mempunyai anak, saya benar-benar mencurahkan semua waktu untuk anak saya. Bahkan saya rela meninggalkan pekerjaan saya untuk lebih total menjaga dan mengasuh anak saya. Dan saat itu saya mempunyai cita-cita akan melakukan perjalanan berdua saja dengan anak saya ketika nanti dia sudah agak besar (ternyata rencana hanya tinggal rencana). Suami saya selalu mendorong saya untuk kembali melakukan solo travelling lagi, agar saya dapat menenangkan pikiran. 

Singkat cerita, saat itu saya iya-kan keinginan suami saya. Saya pergi berlibur ke Yogjakarta. Saat itu saya berhenti di Stasiun Lempuyangan. Saat menunggu ojek online yang akan mengantarkan saya ke hotel tempat saya menginap, tepat disamping saya rombongan anak TK yang sepertinya sedang menunggu mobil jemputan. Wajah polos dan ceria mereka kembali mengingatkan saya akan sosok anak saya yang telah tiada. Salah satu Ibu dari anak-anak itu seperti menyadari lamunan saya dan bertanya hendak kemana dan tujuan kesini untuk apa? kok tidak sama suami dan anak.  Saat itu saya hanya bilang untuk liburan beberapa hari saja. Lalu kami mengobrol sebentar dan akhirnya saya ceritakan tentang saya yang sudah kehilangan anak. 

Ibu muda itu (yang saya tidak sempat bertanya namanya siapa) bercerita juga, kalau kakaknya juga mempunyai nasib yang sama seperti saya. Ia bercerita kakaknya mengalami depresi dan terpuruk sampai satu tahun lamanya. Sampai saat inipun walaupun sudah 21 tahun sejak kepergian anaknya, kakak Ibu itu masih membelikannya baju lebaran layaknya si anak masih hidup. Menurutnya saya termasuk orang tua yang kuat sekali. ikhlas meneriman keadaan. Ucapan ibu yang saya jumpai di Stasiun Lempuyangan itu tidak sepenuhnya benar. Sampai saat inipun, menjelang dua tahun kepergian anak saya, saya masih suka menangis sesenggukan mengingatnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline