Lihat ke Halaman Asli

Guru Jaman Dulu vs Guru Sekarang

Diperbarui: 10 Oktober 2015   07:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap hari Sabtu, saya selalu mengosongkan jadwal mengajar di sekolah, biasanya saya pakai untuk keperluan pekerjaan di Kabupaten. Namun sabtu kemarin tidak ada agenda untuk ke kabupaten dan saya memanfaatkan waktu itu untuk silaturahim keliling-keliling sekolah di Kecamatan. Diskusi menarik terjadi ketika saya mengunjungi SD Inpres Kayuku Rahmat. Dimulai dengan obrolan seputar supervisi yang semakin dekat, obrolan kemudian berkembang lebih luas dengan membandingkan guru jaman dulu dan guru jaman sekarang.

Di ruangan itu, hanya sayalah perwakilan “guru jaman sekarang” yang hadir, sedangkan yang lain mengidentikkan dirinya sebagai “guru jaman dulu”. Banyak guru mengeluh karena tugas guru jaman sekarang sangatlah banyak. Guru tidak hanya mengajar di depan siswa, tapi masih harus memikirkan masalah administrasi yang sangat banyak seperti program semester, RPP, dll. Selain itu  masih ada juga tuntutan moral guru sebagai seorang pendidik yang diharapkan mampu menanamkan nilai dan budi pekerti yang baik ke anak-anak. Dengan tuntutan pekerjaan yang begitu banyak, ironisnya penghargaan kepada profesi guru itu semakin berkurang. Dan sebagai satu-satunya perwakilan guru jaman sekarang yang hadir di ruangan tersebut, maka tidak salah jika sayalah yang menjadi sasaran “kemarahan” mereka. Kemudian mereka melanjut kemarahan mereka dengan membandingkan dengan guru-guru jaman dulu.

Guru-guru jaman dulu itu sangat dihormati, baik oleh murid-muridnya maupun oleh masyarakat. Guru masih dianggap sebagai pekerjaan yang mulia dan terpandang. Derajat guru dalam sosial masyarakat bahkan terkadang lebih ditinggikan dibanding konglomerat di daerah itu. Begitupun dengan murid-murid. Setiap guru datang selalu disambut murid dengan dan murid selalu mematuhi apa yang guru perintah. Bandingkan dengan kondisi guru sekarang. Guru tidak ada bedanya dengan pekerjaan lainnya, dan murid kurang hormat lagi kepada guru. Semakin banyak anak yang kurang ajar dan membantah perkataan guru. Sebagai seseorang yang merasakan pendidikan sebagai murid pada jaman dulu dan sebagai guru pada jaman sekarang, saya tahu betul perbedaan itu. Sayapun sebagai guru jaman sekarang sering jengkel ketika murid saya kurang ajar terhadap saya, perasaan dulu pas aku jadi murid ga kayak gitu deh. Batinku.

Saya kemudian bertanya kepada guru-guru itu, “siapa yang mau disalahkan?”. Semua guru sepakat bahwa sistemnya sekarang yang salah. Kaum intelektual dan pemerintah kita selalu menyalahkan guru jaman dulu yang minim inovasi dan sangat kaku. Namun kenyataannya, anak jaman dulu lebih pintar dan lebih sopan. Bisa dilihat sekarang, berapa jumlah anak kelas 3 yang masih belum lancar membaca atau berapa jumlah anak kelas 5 yang belum hapal perkalian 1-10. Banyak sekali (data ini diambil dengan standar daerah Kabupaten Banggai, bukan di Jawa). Dulu mana ada hal seperti ini, kalau belum bisa membaca, mbuh pie carane harus bisa membaca. Kalau belum hapal perkalian mbuh pie carane harus hapal perkalian. Belum lagi dalam hal kesopanan siswa. Sistem yang diciptakan sekarang justru membuat fokus guru untuk mendidik terpecah karena harus memikirkan urusan administrasi dll. Guru sekarang bukan lagi dinilai dari seberapa pintar atau seberapa sopan anak didiknya, tetapi dari seberapa rapi mereka membuat administrasi.

Sebutan guru sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa” itu tidak ada lagi. Pertama karena guru sekarang tidak lagi dianggap pahlawan, dan kedua karena tanda jasa (baca:uang) untuk guru, terutama guru sertifikasi sekarang sudah lebih dari cukup. Dulu menjadi guru adalah murni panggilan hati untuk mencerdaskan anak bangsa karena tidak ada tunjangan dari pemerintah, sehingga mereka fokus untuk pengabdian pendidikan. Namun semenjak era sertifikasi guru, profesi guru dianggap sangat menjanjikan. Minat masyarakat untuk menekuni profesi guru kian besar. Hal ini tidal lepas dari segudang tunjangan yang diberikan pemerintah. Idealnya, pemberian tunjangan harus diimbangi dengan semangat, kualitas, dan kedisiplinan guru. Namun yang mengganjal adalah bahwa guru sertifikasi cenderung berorientasi pada materi. Tercederailah niat baik pemerintah untuk mengangkat derajat guru.

Tidak mau terjebak dari satu sudut pandang saja, saya kemudian mencari-cari “pembelaan” dari guru jaman sekarang via artikel di internet. Banyak artikel yang membandingkan guru jaman sekarang dan guru jaman dulu, dan tidak sedikit diantaranya mengatakan guru jaman sekarang lebih baik. Guru jaman sekarang sudah lebih inovatif dan lebih humanis. Lalu sebenarnya apa masalahnya? Jika guru jaman sekarang sudah lebih inovatif dan lebih humanis, kenapa murid jaman sekarang lebih bodoh dan lebih kurang ajar (sekali lagi ini bukan data nasional, hanya data kasar di Kabupaten Banggai). Kemudian saya mencoba sok-sok menganalisis, berdasarkan pengamatan pribadi saya.

Dahulu, ilmu pengetahuan belum berkembang sepesat sekarang. Guru sangat dihormati, pertama karena memang merekalah satu-satunya sumber ilmu. Kalau tidak ada guru, mereka tidak bisa belajar. Sekarang coba lihat, dari mana saja kita bisa belajar. Buku, televisi, laptop, handphone, semuanya bisa jadi sumber belajar kita. Apalagi dengan filosofi pendidikan sekarang yang harus kontekstual, maka belajar tidak hanya bisa dilakukan disekolah. Jika memang demikian, bahkan bisa-bisa guru kalah dengan muridnya. Banyak guru yang tidak bisa mengoperasikan laptop, jangankan mengoprasikan, memegangnya saja takut. Jika sudah demikian, secara psikologis ketakutan murid ke guru tidak lagi seperti dulu karena tanpa guru pun mereka masih bisa belajar.

Kedua, dengan mulai meleknya masyarakat akan HAM, banyak guru yang takut berbuat kekerasan untuk mengontrol perilaku siswa. Jika dulu rotan adalah sabahat guru, sekarang bahkan untuk memaki siswa dengan kata-kata kasar saja guru sudah pikir-pikir. Jangan-jangan nanti ada orang tua yang tidak terima dan dilaporkan ke polisi. Jika sudah demikian, ruang gerak guru semakin terbatas, dan ketakutan siswa terhadap guru semakin berkurang, bahkan tidak jarang guru yang lebih takut kepada siswa. Dengan dua alasan tersebut saja sudah terlihat jelas semakin melemahnya kewibawaan guru di mata murid. Tidak ada lagi guru yang disegani muridnya.

Ketiga, sekaligus menaggapi keluhan guru-guru tentang banyaknya tugas guru, terutama menyangkut administrasi, dll. Dengan adanya perubahan dalam pemberian penghargaan ke guru oleh pemerintah dengan Tunjangan Profesi Guru maka sebenarnya sudah sangat layak jika pekerjaan itu menjadi pekerjaan wajib bagi guru. Masalahnya, untuk mengubah mindset dan kebiasaan ini memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Guru-guru senior kadung menganggap pekerjaan guru sebagai sebuah pekerjaan setengah hari, dimana sisa harinya adalah milik mereka pribadi. Begitulah sebagian besar guru jaman dulu bisa bertahan dengan segala kekurangan yang ada. Sepulang sekolah mereka biasanya memiliki pekerjaan lainnya entah mengurus sawah atau berdagang.

Realitanya, sekarang guru bukan lagi sebuah pengabdian murni. Menjadi guru adalah bekerja secara profesional, dengan kewajiban utama membuat murid menjadi tahu, menjadi terampil, dan berakhlak baik. Belum ada titik temu antara apa yang diinginkan pemerintah dengan kebiasaan yang dijalankan guru. Maunya pendapatan ditambah supaya bisa bekerja penuh waktu dan tidak usah memikirkan urusan lainnya, namun apa daya kebiasaan “tidak mau diganggu gugat” setelah lonceng pulang sekolah berbunyi tidak bisa ditinggalkan. Dan korbannya adalah murid-murid. Guru bisa dengan mudah meninggalkan mengajar di kelas dengan alasan masih harus membuat administrasi, padahal seharusnya pekerjaan membuat administrasi itu bisa dibuat setelah sepulang sekolah. Rumusnya, “jangan membayar sebuah ketulusan dengan uang. Terkadang uang bisa membiaskan dari makna  dari yang kita kerjakan”.

Keempat, mungkin agak sedikit kontroversial, tapi menurut saya ini nyata di Indonesia. Sejak diberlakukan pendidikan gratis bagi SD dan SMP, banyak yang semakin meremehkan sekolah itu sendiri. Tentu maksudnya baik, untuk memberikan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam mendapat pendidikan. Namun bukannya berterimakasih dengan cara belajar lebih giat, banyak anak justru malah santai-santai karena toh tidak keluar uang. Jika tidak naik kelas juga tidak bayar. Beda dengan dulu, jika tidak naik kelas, berarti pengeluaran semakin banyak. Makanya orang tua dalam mendukung pendidikan anakpun dulu sangat aktif, karena mereka telah membayar untuk itu. Dengan membayar berarti ada tanggung jawab untuk bersungguh-sungguh mengikutinya. Dan sekarang bisa dilihat, orang tua yang benar-benar mendukung pendidikan anaknya biasanya lebih memilih menyekolahkan anaknya ke sekolah awasta yang berbayar daripada sekolah negeri yang gratis (karena yang berbayar itu nampak lebih berharga). Motivasi anak juga lebih tinggi jika mereka ingat bahwa orangtuanya telah mengeluarkan banyak uang untuk membiayai sekolah mereka. Mungkin memang mental bangsa kita masih belum siap dengan yang namanya gratisan. Tapi jika opini yang ini saya, saya minta maaf.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline