Lihat ke Halaman Asli

Falishach

Pelajarr

Bingung, Tapi Harus Memilih (Bagian 1)

Diperbarui: 18 November 2024   14:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Hari itu hari Jumat, aku masih kelas enam SD. Orangtuaku sampai minta izin ke guruku, karena aku bakal ikut ujian masuk SMP---tapi ini bukan SMP biasa. Ini pondok, dan salah satu syaratnya adalah latihan nginap tiga hari, dari Jumat sampai Ahad, tanpa orangtua.

sebenarnya, aku nggak asing dengan nginap jauh dari rumah, karena di SD aku sudah pernah latihan nginap dua hari. Tapi kali ini rasanya beda. Tiga hari, tempat baru, orang-orang baru... aku penasaran sekaligus deg-degan.

Begitu sampai di depan gerbang SMP, aku langsung merasa jantungku berdebar kencang, tapi bukan karena takut---aku semangat banget! Mataku berbinar melihat bangunan sekolah yang bakal jadi tempatku selama beberapa hari ke depan.

Beberapa kakak kelas menyambutku dengan ramah, salah satunya menyerahkan sebuah nametag dengan tulisan 'Lisha' di atasnya.
"Adik harus pakai ini terus ya, supaya teman-teman barunya bisa kenal sama kamu," katanya sambil tersenyum. Aku membalas dengan senyuman manis, lalu dengan hati-hati kupasang nametag itu di bajuku. Rasanya seperti resmi memulai petualangan baru!

Tak lama kemudian, kakak kelas lain menghampiri dan memanduku serta kedua orangtuaku ke asrama untuk menaruh barang-barangku. Aku menenteng tasku dengan penuh semangat, sementara mereka membantu mengarahkan.

Ternyata, aku adalah murid pertama yang tiba di pondok ini. Ruangannya masih sepi, hanya ada deretan kasur yang tertata rapi. Belum ada teman baru yang bisa kusapa. Aku melirik jam tangan, berharap waktu cepat berlalu supaya asrama ini mulai ramai.
Setelah menaruh barang-barang di asrama, aku belum sempat merapikannya.

Tiba-tiba, saat itu juga aku harus berpamitan dengan Ayah dan Ibu. Aku menatap mereka sambil tersenyum, lalu Ayah mengelus kepalaku dan bilang,

"Yang semangat, ya."

Aku membalas dengan senyum lebar,

"Siip, Dadaaaah!"

Jawabku ceria, sambil melambaikan tangan penuh semangat.
Mereka berjalan pergi, dan aku cuma berdiri di situ, merasa santai dan nggak terlalu sedih. Jarak rumah dan pondok ini dekat, jadi nggak ada yang perlu dikhawatirkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline