Lihat ke Halaman Asli

Falishach

Pelajarr

Jejak Arman dan Kean

Diperbarui: 4 November 2024   11:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ya Allah, tolong, jangan sekarang," desah Arman saat layar laptopnya menampilkan kegelapan. "Ustadz butuh melihatku saat aku menghafal! Kenapa harus ada masalah di saat-saat seperti ini?"

Saat bersiap menyetorkan hafalannya, semua rencananya terasa melayang. Arman meraba-raba keyboard dengan harapan menemukan solusi. Dia menekan beberapa tombol, tetapi layar tetap gelap. Detak jantungnya semakin keras, mengingat betapa pentingnya hafalan ini.

"Aku tahu ini penting bukan hanya untuk nilainya, tetapi juga untuk menunjukkan kemajuan belajar saya. Ustadz selalu bilang hafalan adalah kunci untuk memahami agama dengan lebih baik," pikir Arman sambil merasa semakin tertekan.

"Maaf, ustadz, laptop saya tidak bisa buka kamera," keluh Arman, mencoba menyembunyikan kecemasannya saat bergabung dalam panggilan Zoom.

"Coba periksa kembali, Arman. Pastikan semua perangkat terhubung dengan baik," jawab ustadznya dengan nada sabar, tetapi Arman bisa mendengar sedikit nada kecewa di suaranya.

Setelah berulang kali memperbaiki posisi laptop dan memeriksa pengaturannya, Arman merasa putus asa. Dia menoleh ke arah ayahnya yang duduk di sofa, memegang ponsel dan tampak sibuk. "Ayah, laptopku tidak berfungsi! Ustadz butuh melihat aku saat menghafal!"

Tanpa sepatah kata pun, ayahnya berdiri dan mengikuti Arman ke kamarnya. Dengan langkah cepat, Arman menunjukkan laptopnya yang masih menampilkan layar hitam. "Ayah, coba lihat ini. Aku harus menyetorkan hafalan."

Sementara itu, ustadznya yang menunggu di panggilan Zoom merasa khawatir karena Arman sudah beberapa lama tidak menjawab. "Arman, apakah laptopmu sudah berfungsi?" tanya ustadz dengan nada sabar, meskipun suara ketidakpastian terbesit di suaranya.

"Tidak, ustadz. Layar laptop saya tetap hitam," jawab Arman, merasa putus asa.

"Baiklah," ujar ustadznya setelah menunggu dengan sabar, "kalau begitu, kita harus mencari solusi lain. Mungkin ayahmu bisa mendengarkan hafalanmu. Aku akan mendengarkan dari sini dan memberi umpan balik."

Arman merasa lega mendengar saran itu. Dia mengangguk dengan penuh semangat, "Baik, ustadz!" Namun, di dalam hati, dia merasa cemas. Hafalannya masih belum lancar, dan dia tahu ustadznya pasti mengharapkan yang terbaik darinya. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum mulai menyetorkan hafalan di depan ayahnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline