Lihat ke Halaman Asli

Hanifah Hasnur

As a lecturer and researcher I literally love reading, writing, analyzing and lecturing.

Pensiun Dini, Kenapa Tidak?

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut guru besar Universitas Indonesia (UI) Prof.Dr.dr. Ascobat Gani, ada dua hal yang bisa membuat kuda mau belari kencang. Pertama, rumput hijau di depannya, dan yang kedua harimau yang mengaung yang siap menerkam di belakangnya.

Begitulah analogi Prof. Ascobat Gani terhadap tenaga medis Indonesia. Rasanya tidak berlebihan bila tenaga medis kita dianalogikan seperti itu. Bagaimana tidak, rumput hijau ini diumpamakan seperti pemberian remunerasi (imbalan kerja) bagi tenaga medis. Sedangkan, harimau yang mengaung diumpamakan seperti ancaman dipensiun dinikan.

Harapan besar dari segenap pakar kesehatan di Indonesia agar kedua hal tersebut mampu mengubah wajah pelayanan kesehatan di Indonesia kedepannya. Sejuah ini, dari kedua hal tersebut, penerapan sistem remunerasilah yang baru berjalan. Dengan diberlakukannya sistem remunerasi terutama di Rumah Sakit dengan BLU diharapkan tenaga medis bisa lebih giat dan lebih manusiawi dalam memberikan pelayanan.

Namun faktanya, sepertinya harapan tinggallah harapan, dan kembali masyarakat menelan rasa kecewa. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh sancoko terlihat tidak ada peningkatan kualitas pelayanan yang berarti dalam beberapa tahun terakhir, dilihat dari dimensi reliability (kepercayaan), responsiveness (tanggap), assurance (kenyamanan) dan emphaty (simpati), ke-empat dimensi tersebut tidak ada peningkatan yang cukup singnifikan. Kesimpulannya, peningkatan kesejahteraan melalui pemberian remunerasi ternyata tidak cukup membuat tenaga kesehatan kita bekerja lebih baik.

Tidak salah bila kemudian, pakar kesehatan masyarakat Universitas Indonesia (UI) Prof.Dr.dr.Hasbullah Thabrany menyatakan bahwa di saat negara tetangga mulai membuat inovasi-inovasi untuk meningkatkan kesehatan penduduknya, Indonesia masih saja berkutat perihal duit dan komitmen. Prof Hasbullah Thabrany menambahkan bahwa dalam pelayanan kesehatan di beberapa rumah sakit kita, masih didapati banyak prilaku-prilaku tenaga kesehatan yang masih mendeskriminasikan pasien. Mereka masih membeda-bedakan pasien mampu dan tidak mampu. Sehingga tidak sedikit pasien miskin yang meninggal dunia karena ditelantarkan sehingga tidak mendapat pelayanan.

Survei Citizen Report Cards (Kartu laporan Mayarakat) yang dilakukan oleh Lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) beberapa waktu lalu menunjukkan hasil yang cukup miris. Dari hasil survey didapati bahwa sebanyak 19 Rumah Sakit di Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi (Jabodetabek) memberikan pelayanan yang buruk terhadap masyarakat miskin. Pelayanan buruk ini dinilai dari buruknya pelayanan oleh tenaga administrasi di rumah sakit sebanyak 47,3 persen, keluhan buruknya pelayanan dari dokternya seperti penanganann pasien yang lambat, tidak tanggap, cuek, tidak memberikan laporan perekembangan penyakit secara jelas, dan dokter yang datang terlambat sehingga memaksa pasien menunggu lama sebanyak 18,2 persen, penolakan dari rumah sakit 10 persen, keluhan tentang fasilitas dan sarana rumah sakit 13,6 persen dan sebanyak 8,7 persen pasien mengeluh akan pungutan yang harus dikeluarkan pasien untuk pembuatan kartu berobat (Puji 2010).

Menurut ICW, ada Sembilan masalah pelayanan rumah sakit yang dikeluhakan oleh pasien. Pertama, sebagian besar pasien masih mengeluhkan pelayanan rumah sakit. Kedua pelayanan rumah sakit masih deskriminatif terhadap pasien perempuan. Ketiga, pemegang kartu jaminan kesehatan sosial lebih sering mendapatkan layanan buruk. Keempat, Rumah Sakit masih menolak pasien. Kelima, rumah sakit masih meminta uang muka pada pasien miskin. Keenam, masih ada pungutan dalam mendapatkan kartu jaminan berobat. Ketujuh, pasien miskin masih sulit mengakses obat.

Maka, atas dasar deskripsi permasalahan tersebut, kini analogi prilaku kuda yang kedua menjadi layak untuk diterapkan. Alih-alih sebagai harimau yang mengaung dan siap menerkam bila si tenaga medis belum juga berubah prilakunya dalam memberikan pelayanan.

Kini kebijakan untuk menerapkan prinsip analogi kuda yang kedua telah disiapkan. Seperti berita yang dilansir oleh Kompas (28/10/2014) menyebutkan bahwa Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Yuddy Crisnandi akan menerapkan sistem pensiun dini untuk aparatur negara yang buruk kinerjanya.
Meskipun ini masih wacana awal. kalau ternyata terbukti ampuh untuk medorong tenaga medis lebih baik dalam memberi pelayanan , maka pensiun dini, mengapa tidak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline