Tadi malam, salah satu Grup WA saya ramai dengan berita yang kira-kira begini judulnya "Kesal Kerap Ditanya Kapan Kawin, Nunur Bunuh Tetangganya". Mengapa gerangan pertanyaan yang hanya sekedar basa-basi itu bisa membuat pelaku tega menghabisi nyawa tetangganya yang bahkan tengah hamil delapan bulan. Mungkin pertanyaan sepele itu untuk sebagian orang hanyalah sekedar basa-basi semata. Tetapi basa-basi dalam lingkungan masyarakat kita ternyata tidaklah sesederhana itu.
Basa-basi atau phatic communion didefinisikan sebagai pertuturan ungkapan baku saja seperti halo, apa kabar dan lain-lain yang tidak mempunyai makna. Basa-basi seharusnya ditujukan untuk mengadakan kontak sosial di antara pembicara atau untuk menghindari kesenyapan yang dapat menimbulkan rasa kikuk.
Basa-basi di Indonesia yang terkenal komunal ini tentu saja bukan lagi soal apa kabar. Atau jika hanya ingin menghindari kesenyapan sebenarnya cukup dengan pertanyaan: "Apakah kamu suka makan cicak?"
Basa-basi di Indonesia cenderung mengarah pada pertanyaan-pertanyaan ofensif seperti: kapan nikah? Sekarang kerja di mana? Berapa gajinya?
Karena namanya basa-basi, si penanya kadang tidak memikirkan dampak apa yang akan ia akibatkan atas pertanyaan-pertanyaan menyerangnya. Padahal jika si penanya menggunakan akal pikirnya barang sejenak, banyak sekali diksi halus yang bisa dipergunakan untuk sekedar basa-basi seperti: "Apa rencanamu ke depan?", "Sibuk apa sekarang?", dst.
Pertanyaan basa-basi yang jahat ini intensitasnya akan meningkat tajam tatkala musim hari raya tiba. Hal tersebut membuat generasi milineal mulai enggan untuk menghadiri acara kumpul kelurga. Tinimbang mendapat serangan otak (seperti serangan jantung tapi di kepala), generasi muda lebih cenderung memilih untuk menghabiskan waktu bersama teman-temannya saja.
Jurang pola pikir yang lebar
Penyebab utama mengapa pertanyaan-pertanyaan sepele itu bisa menjadi sangat berbahaya karena memang ada gap pola pikir antara si penanya dengan yang ditanya. Sang penanya yang biasanya adalah tante, om atau kolega lainnya mungkin telah berproses puluhan tahun yang lalu. Sedangkan generasi millineal saat ini punya alternatif pilihan hidup yang lebih banyak. Bagi mereka lulus kuliah tidak melulu kerja, lanjut kawin, dan melahirkan anak.
Ada yang memilih untuk rehat sejenak dan mengambil gap year. Ada yang memilih untuk meninggalkan background pendidikannya demi mengejar passion-nya. Kerja pun bukan lagi terbatas pada duduk-duduk di kantor dari pagi sampai sore. Pekerjaan-pekerjaan kreatif dan berdasar passion itulah yang seringkali kurang dipahami oleh om-tante atau pakdhe-budhe karena dianggap tidak memiliki masa depan cerah.
Memang tidak ada patokan baku soal tingkat kebaperan seseorang dalam menanggapi pertanyaan basa-basi. Tetapi kasus di atas setidaknya menjadi lampu kuning bahwa sakit hati karena pertanyaan sepele itu sangat mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sudah saatnya bijak dalam berbasa-basi dengan sesama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H