Pagi-pagi sekali sudah terdengar suara bising di depan rumahku. Aku segera bangun dari tempat tidurku dan menuju sumber keributan Di sana ada ayahku, kakakku, bundaku, dan juga beberapa warga yang berkumpul.
"Ada apa, Bun? ayah kemana Bun?" tanyaku pada bunda. "Tetangga kita, Buk Ningsih. pindah rumah. Sekarang ayah sedang membantu mengangkat barang-barangnya ke truk." Jawab bunda.
Mendengar jawaban bunda, tiba-tiba ada perasaan kaget yang kurasa. Anak Buk Ningsih. Aurel, dia adalah sahabatku sejak kecil. Kami selalu bersama, baik ketika susah atau pun senang Aurel dan aku sudah saling memahami satu sama lain.
Aku pun langsung bergegas menacari sosoknya yang dari tadi tak aku temui, mataku melihat ke segala arah, kakiku aku injitkan, dan kepalaku aku putarkan mencari sosok sahabatku ini.
"Azza!" Suara yang tak asing aku dengar dari arah belakang. Aku segera membalikkan badanku. Kulihat sosoknya dengan menggunakan baju persahabatan kami dia pasangkan gelang persahabatan kami di lengan kirinya, kemudian menghampiriku.
"Maafkan aku, Zaa." Suara Aurel semakin serak. Air mata pun akhirnya menetes.
"Aku tidak tahu kalau ayahku akan dipindahtugaskan secepat ini" Ucapnya sambil langsung mendekap tubuhku.
Aku pun tak bisa menahan air mata yang sedikit demi sedikit mulai membasahi pipiku.
"Kamu mau pindah ke mana?" tanyaku sambil menahan tangis.
"Ayahku dipindahtugaskan ke Kalimantan, Zaa. Pemilik cabang perusahaan ayahku yang di Kalimantan meninggal. Sebagai gantinya, ayahku terpilih untuk menjadi pemilik cabang di sana. Kami sekeluarga pun akan ikut dan tinggal di sana, Zaa"
Mendengar penjelasan Aurel, membuat pikiranku melayang. Betapa tidak, hampir sepuluh tahun sudah kami bersama. Bahkan ibuku selalu berkata bahwa sejak kami bayi.