Tanah bengkok desa itu lumayan jauh dari kampung. Terletak di tengah-tengah lahan persawahan yang luas, tanah bengkok itu dipenuhi aneka tanaman keras. Dari kejauhan tampak seperti payung saat matahari bersinar dengan teriknya. Adem dan meneduhkan.
Warga kampung menyebut kawasan tanah bengkok itu dengan nama Hutan Secepit. Mungkin karena posisinya yang terjepit di antara lahan persawahan milik warga. Selain pohon sengon, jati, nangka, mangga dan durian, pohon duwet alias jamblang paling merajai kawasan Secepit. Pohon dari suku jambu-jambuan ini tumbuh liar dengan lebatnya.
Saat musim buah tiba ia menjadi sasaran utama anak-anak kampung setempat. Rasa buahnya memang sepat masam, tapi anak-anak menyukainya. Sebabnya tak lain karena sehabis makan buah ini lidah mereka berubah warna kebiru-biruan. Mereka lalu bercanda dengan saling menjulurkan lidah birunya.
Hutan secepit memiliki cadangan rerumputan yang berlimpah. Siapa saja warga kampung boleh menanam dan mengambil rerumputan di sana, termasuk buah dari beragam pohon yang ada. Hanya perusakan kawasan hutan yang dilarang oleh otoritas desa, seperti menebang pohon. Pemerintah desa ingin menjaga agar Secepit tetap bertahan sebagai hutan yang dimanfaatkan bersama oleh warga desa.
Anak-anak, tentu saja, yang paling mendapat kemerdekaan dengan kawasan semacam itu, termasuk Marno dan Gito. Mereka sering pergi ke Secepit, baik untuk sekedar bermain atau mencari rumput bagi hewan ternak piaraan keluarga mereka. Rata-rata anak kampung di situ bekerja membantu orang tua dengan mencari rumput untuk ternak keluarga dalam skala yang sangat amat kecil.
Paling-paling satu keluarga punya satu atau dua ekor sapi atau kambing, sebagai tambahan penghasilan dari produksi susunya. Ternak itu dijual saat orang tua harus membiayai sekolah anak-anaknya, atau ada anggota keluarga yang sakit serius.
Marno dan Gito bersahabat akrab sejak kecil. Kini mereka duduk di kelas tiga bangku SMP yang sama. Rumah mereka bertetangga. Setiap hari, sepulang sekolah, mereka pergi ke Secepit untuk mengambil rumput buat ternak. Orang tua Marno memelihara dua ekor sapi, sementara orang tua Gito memiliki satu ekor sapi dan dua ekor kambing.
Musim kemarau adalah masa penuh derita bagi dua remaja itu. Terik matahari dan udara yang panas kerap membuat mereka diserang kantuk saat merumput. Di hutan Secepit, mereka sering tertidur. Baru sesudahnya, dengan rasa malas, mereka mulai merumput. Sedikit demi sedikit hingga keranjang bermata besar mereka penuh.
"Daknang, yukkk", ajak Marno kepada Gito.
Daknang, kepanjangan dari cedak menang (yang dekat menang), adalah permainan anak-anak pencari rumput di Jawa. Permainan dilakukan bersama oleh dua orang atau lebih. Masing-masing pemain bertaruh sejumlah rumput yang ditata sedemikian rupa mirip bukit kecil setinggi sekitar satu meter.
Lalu, mereka menetapkan satu titik, biasanya sebuah pohon, untuk menjadi sasaran lemparan. Para pemain akan melemparkan sabit masing-masing ke sasaran yang disepakati. Siapa paling dekat dengan titik sasaran, ia yang menjadi pemenang.