Lihat ke Halaman Asli

M. Hanif Dhakiri

TERVERIFIKASI

Aktivis

Perjalanan ke Monas

Diperbarui: 13 Maret 2020   05:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi jalanan Jakarta: pixabay.com/Rayydark

Entah mengapa siang itu segalanya tidak ramah. Matahari bersinar begitu terik, memanggang seantero kota Jakarta dan sekitarnya. Lalu lintas jalan raya super padat. 

Hampir semua ruas jalan yang kulewati sepanjang Depok hingga Monas dipenuhi mobil dan motor yang tak terhitung jumlahnya.  Macet cet! Jalanan dipenuhi debu dan asap kendaraan bermotor. 

Lalu lalang orang begitu riuh, seperti laron-laron menjemput cahaya lampu. Kemacetan Jakarta memang sudah menjadi ciri khas, bahkan terkenal hingga manca negara. Tapi kemacetan, ditambah suasana keseluruhan hari ini, benar-benar gila!

Aku duduk di belakang setir mobil dengan resah. Terlalu sering aku menggerutu dan ngomel melihat ulah para pengendara motor yang serampangan atau sopir metro mini yang ugal-ugalan. 

Tadi, misalnya, seorang pengendara motor menyenggol spion mobilku hingga berubah posisi, dan dia berlalu begitu saja. Brengsek! Jangankan membenarkan posisi spion mobilku seperti semula, berhenti dan meminta maaf saja dia tidak lakukan.

Di ketika yang lain, sebuah metro mini memotong jalur secara mendadak hingga memaksaku menginjak rem mendadak pula. Seisi mobil kaget dan anak-anak menjerit. 

Beruntung badan metro mini itu tidak menyenggol ujung depan mobilku. Secara refleks kubuka jendela mobil dan kumaki-maki sopir metro mini sialan itu. Tapi, seperti yang sudah-sudah, ia berlalu dengan cueknya.

"Yang sabar aja, Nak. Hari masih terang kok. Kalaupun nggak sampai Monas karena macet, Ibu juga nggak apa-apa. Anggap saja belum rezeki Ibu Bapakmu melihat Monas hari ini". Suara perempuan tua di sebelahku meluruhkan amarahku gara-gara sopir metro mini ugal-ugalan itu.

Hari itu aku sedang mengantarkan Bapak dan Ibu ke Monas. Mereka berkunjung ke Jakarta untuk bertemu dengan cucu-cucu kesayangannya. Itu agenda rutin mereka, setidaknya dua kali dalam setahun. 

Lebih dari dua puluh tahun aku tinggal di Jakarta, Bapak Ibu selalu rutin berkunjung. Pada kunjungan kali ini aku baru tersadar saat Ibu meminta diantar melihat Monas. Rupanya belum pernah sekalipun aku ajak mereka ke sana, padahal sudah puluhan kali mereka berkunjung ke Jakarta.

Aku merasa sangat bersalah pada kedua orang tuaku, dan hari itu aku bermaksud membayarnya. Aku izin nggak masuk kerja dan mengantar mereka ke Monas. Istri dan ketiga anakku turut serta. Kebetulan anak-anak pulang cepat dari sekolah hari itu. Tapi malang, namanya hari kerja, kemacetan lalu lintas lagi parah-parahnya. Itu membuat suasana perjalanan kurang menyenangkan bagi semua.

Ketika mobil berhenti di perempatan lampu merah Pancoran, seorang pengamen datang mendekat. Rambutnya gondrong, pakaiannya dekil, tangan dan lehernya penuh tato. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline