Lihat ke Halaman Asli

John Laba

Pendidik

Kesabaran Itu Rasanya Manis

Diperbarui: 27 Juli 2021   14:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada pagi hari ini, ada seorang sahabat mengirim sebuah tulisan bergambar: "Manisnya buah kesabaran" Saya tersenyum sendiri karena selama beberapa hari terakhir ini saya sempat tidak sabar dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan saya.  Saya teringat pada seorang konfrater di dalam suatu komunitas yang saya jumpai beberapa tahun silam. Ia kelihatan begitu senang dalam bercocok tanam. Selama dia berada di dalam komunitas itu, kelihatan komunitasnya benar-benar go green. Ia memang memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup, sebab itu dia senang menanam tanaman hias dan tanaman lain sehingga halaman rumahnya kelihatan selalu hijau dan tentu saja teduh. Go green ada manfaatnya baik secara pribadi, keluarga dan komunitas.

Saya pernah berkesempatan membaca sebuah buku karya Pater Wolfgang Bock Kastowo, SJ. Judul bukunya adalah 'Hidup keluarga Bahagia" dari Penerbit Kanisius Jogjakarta tahun 2019. Di dalam salah satu halaman buku itu, ia menulis: "Kesabaran: sikap menunju kebahagiaan". Bagi Pater Kastowo, kebahagiaan adalah sesuatu yang dibangun dari dalam hati. Kesabaran juga merupakan kemampuan untuk mengontrol reaksi kita dan mencari ketenangan batin.  Beliau juga mengutip perkataan Dalai Lama ke-14, sang pemimpin Tibet: "Mereka yang mau merugikan kita, mengajarkan kita kesabaran. Mereka memberitahukan  dan melatih kita hal yang tak bisa kita pelajari dengan hanya mendengarkan, biar pun si pembicara begitu pandai atau suci."

Apakah sejak bangun pagi pada hari ini, anda sudah melatih diri dan menunjukkan kesabaranmu bagi diri sendiri dan juga kesabaran kepada sesama? Saya merasa yakin bahwa masing-masing kita tetap berusaha untuk menjadi pribadi yang sabar. Hanya saja lebih mudah kita mengatakan kepada orang untuk coba bersabar namun kita sendiri tidak sabar. Kita memaksa Tuhan supaya ikut bersabar kepada kita sedangkan kita sendiri tidak bersabar kepada Tuhan.

Saya teringat pada Alexandre Dumas Père. Beliau adalah seorang penulis dari Perancis (1802-1870. Baginya, semua jenis kebijaksanaan itu berakar pada dua kata: kesabaran dan harapan. Saya sepakat dengan beliau. Setiap orang mesti memiliki kesabaran dalam dirinya sendiri dan dengan demikian dia akan melakukannya bagi orang lain. Orang yang tidak memiliki kesabaran dalam dirinya akan sulit menjadi sabar dengan orang lain. Demikian juga dengan harapan. Setiap orang memiliki harapan untuk mendapatkan yang terbaik bagi dirinya dan juga bagi sesamanya.

Dalam masa pandemi ini kata kesabaran menjadi penting bagi kita. Kalau saja kita bisa memilikinya maka kita akan mampu menguasai diri kita, dalam situasi yang sulit sekalipun. Saya menyaksikan betapa banyak pribadi-pribadi yang kehilangan kesabaran ketika mendapat berita-berita seputar pandemi. Lebih lagi ketika mulai batuk dan pilek maka pikirannya adalah protokol kesehatan, antigen dan PCR. Kalau saja orang itu sabar maka dia akan sadar diri dan melewati langkah-langkah yang tepat dengan meminta pertimbangan tenaga medis yang tepat. 

Seorang pemuda mengirim saya karikatur yang menceritakan bahwa pada masa pandemi ini lebih baik kentut dari pada batuk. Kita perlu melatih diri untuk menjadi pribadi yang sabar dan selalu berpikiran yang positif dengan demikian akan merasakan betapa manisnya buah kesabaran bagi hidup kita. Kesabaran memang rasanya manis!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline