Konon ada seorang profesor dari sebuah universitas ternama mendatangi seorang maestro di Jepang untuk bertanya tentang Guru Zen. Sang Maestro Jepang menyambutnya. Sebelum mereka memulai pembicaraan tentang Guru Zen, sang Maestro Jepang mengundang profesor untuk minum teh sebentar.
Posisi duduk di meja adalah duduk berhadapan satu sama lain. Sang Maestro meletakkan cangkir kecil di hadapan profesor sambil menuangkan air teh ke dalamnya. Sang Maestro Jepang terus menuangkan air teh ke dalam cangkir profesor sampai cangkirnya penuh dan meluap.
Mulanya sang profesor hanya memperhatikan luapan air teh yang keluar dari dalam cangkirnya. Dia berusaha untuk menahan diri supaya jangan mengatakan bahwa cangkirnya sudah penuh.
Namun setelah beberapa saat profesor berani mengatakan, "Maaf Maestro, cangkir saya sudah penuh dan meluap. Tidak ada lagi tempat untuk mengisinya."
Sang Maestro Jepang tersenyum sambil berkata kepada profesor, "Betul sekali Prof, sama seperti cawan ini! Anda penuh dengan pendapat dan spekulasi Anda sendiri. Maka pertanyaannya adalah bagaimana saya bisa menunjukkan Zen kepada anda kecuali Andalah yang pertama kali mengosongkan 'cangkir' Anda?"
Hidup kita tidaklah jauh lebih baik dari sang profesor. Ia mencari sang Guru Zen melalui sang Maestro.
Sambil mencari, ia sendiri sudah memiliki seribu satu pendapat dan spekulasi tentang sosok Guru Zen. Ia sudah memiliki bias-bias pemikiran tentang Guru Zen. Tentu saja ia akan merasa jenuh dan sia-sia saja ia terus mencari Guru Zen melalui sang Maestro.
Sebab itu satu-satunya jalan yang harus dilakukan adalah ia perlu berkenosis atau mengosongkan dirinya. Ia harus memurnikan dirinya, semua motivasi, spekulasi dan pendapat-pendapatnya tentang guru Zen.
Hanya dengan demikian ia dapat dibimbing untuk berjumpa dengan sosok Guru Zen yang sebenarnya. Singkatnya, dia sebagai profesor memiliki cangkir sudah terisi penuh dan meluap maka dia harus mengosongkan cangkirnya.
Banyak kali kita mencari Tuhan melalui doa-doa kita. Namun sayang sekali sebab sambil mencari Tuhan, kita sudah memiliki seribu satu ide, spekulasi tentang Tuhan dan kehendak-Nya. Kita berpikir bahwa Tuhan yang membutuhkan kita padahal kitalah yang membutuhkan-Nya.
Maka kita butuh kesempatan untuk mengosongkan diri, menjernihkan diri. Biarkan diri kita kosong supaya Tuhan dapat membimbing kita ke jalan yang benar. Ketika pikiran dan hati kita sudah penuh maka akan jenuhlah hidup kita. Kita tidak ada lagi tempat bagi Tuhan.