Salah satu kata yang sedang viral pasca penetapan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia adalah kata 'Rekonsiliasi'. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata rekonsiliasi sebagai sebuah perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula atau perbuatan menyelesaikan perbedaan. Arti kata rekonsiliasi ini membuka wawasan kita akan suasana panas politik Indonesia selama lebih kurang setahun terakhir ini.
Ada dua kelompok besar yang berkompetisi yakni bani cebong dan bani kampret atau lebih dikenal dengan sebutan 01 dan 02 untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden yang ada. Kedua kelompok ini seakan membawa perpecahan anak-anak bangsa, yang tadinya bersaudara tetapi terpecah gara-gara politik menjelang pesta rakyat, padahal sebenarnya tidak demikian. Kedua kelompok memiliki cita-cita yang sama yakni menjadikan demokrasi menjadi lebih nyata dalam hidup berbangsa dan bernegara. Demokrasi bukan sekedar sebuah slogan tetapi sebuah bagian yang penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di mana rakyatlah yang memiliki kuasa penuh.
Kita dapat mengamati semua media sosial yang menghadirkan berita atau informasi seputar kedua kelompok yang saya sebutkan di atas sambil memperhatikan komentar dari para nitizen. Betapa banyak kekerasan verbal yang diungkapkan dalam tulisan, bernada provokatif dan bernuansa devide et impera. Belum terhitung berita-berita hoax dari oknum tertentu yang tidak bertanggungjawab. Banyak orang memiliki gangguan mental menjelang pesta rakyat kemarin. Mungkin saja masih ada sisa-sisanya yang masih ada saat ini. Pesta rakyat memiliki dampak pada gangguan mental rakyat. Ini tentu sangat disayangkan karena mencederai demokrasi kita.
Kita semua sudah tahu bahwa pesta rakyat dan penetapan pemenangnya sudah selesai di meja Mahkamah Konstitusi. Sebenarnya semua hal yang berkaitan dengan pilpres sudah selesai. Namun kenyataan mengatakan hal yang berbeda. Misalnya belum ada ucapan selamat dari pihak yang kalah kepada pihak yang menang. Bahkan ada suara sumbang yang mengatakan bahwa mengucapkan selamat itu adalah budaya barat. Padahal budaya Timur sangatlah positif. Seharusnya sikap legowo pihak yang kalah harus benar-benar nyata di depan sang pemenang. Namun kalau tidak ada yang sejalan maka butuh 'rekonsiliasi'. Sebuah pemulihan hubungan persahabatan yang radikal. Rekonsiliasi para pemimpin yang dituakan akan berpengaruh terhadap para pengikutnya. Semua orang akan menaruh hormat kepada yang kalah dan menang ketika mereka bersalaman dan berpelukan di depan umum.
Banyak suara sumbang yang memohon supaya rekonsiliasi dilakukan oleh kedua pihak. Sebagaimana kita dengar bersama bahwa salah satu kelompok mengatakan bahwa kalau mau mendinginkan situasi di negeri ini maka butuh rekonsilasi. Kelompok yang satu mengatakan bahwa rekonsiliasi tidak dibutuhkan saat ini karena memang tidak terlalu penting. Ada urusan bangsa yang jauh lebih urgent. Kelompok pertama ini sedang menunjukkan sikap kompromis yang merindukan adanya rekonsiliasi nasional. Pikirannya adalah semua anak bangsa yang tercerai berai karena alasan yang sangat manusiawi membutuhkan rekonsiliasi nasional. Sayang sekali karena kelompok kedua masih belum berani mengatakan 'mari kita berekonsiliasi'.
Saya mengingat Prof Mahfud MD. Ia pernah berkomentar begini: "Rekonsiliasi tidak boleh diartikan bergabungnya dua pihak yang bertentangan dalam Pilpres 2019 yang didasari kepentingan politik. Rekonsiliasi itu bukan artinya harus bergabung. Rekonsiliasi itu menghentikan pertikaian politik, kembali ke posisi masing-masing." Sangatlah disayangkan kalau rekonsiliasi tidak dilakukan karena pada kenyataannya masyarakat kita sedang terpecah. Pada saat sekarang saja masih ada usaha dari paslon yang kalah untuk melanjutkan gugatannya di Mahkamah Agung.
Rekonsiliasi itu membuat orang membuka dirinya dan membiarkan orang lain masuk dan menyatu dengannya. Banyak di antara kita mengingat kisah Yusuf anak Yakub di dalam Kitab Kejadian. Dia adalah anak kesayangan Yakub, seorang tukang mimpi yang sangat dibenci oleh saudara-saudaranya. Ia mengalami penganiayaan dari saudara-saudaranya bahkan dijual kepada para pedagang hingga ia menetap di Mesir. Yusuf menjadi orang kepercayaan Firaun. Pada saat terjadi kelaparan yang panjang, ia dipercayakan untuk menjual gandum kepada orang-orang Mesir dan daerah sekitarnya termasuk penghuni tanah Kanaan. Saudara-saudaranya juga datang untuk membeli gandum dan ini menjadi kesempatan untuk berekonsiliasi. Yusuf memang pernah disakiti tetapi dia menunjukkan jiwa besar dan optimisnya untuk berekonsiliasi dengan saudara-saudaranya. Ia bahkan menghibur saudara-saudaranya yang sedang ketakutan dengan mengatakan bahwa Tuhanlah yang menyuruhnya ke Mesir lebih dahulu supaya dapat menyelamatkan mereka.
Rekonsiliasi itu indah ketika orang yang masih memiliki hati nurani yang jernih itu mau melakukannya. Ada pengampunan akan masa-masa gelap yang pernah terjadi dan menyakitkan. Namun Rekonsiliasi akan menunjukkan kekuatannya untuk membuat orang dapat tertawa meskipun pernah menangis. Rekonsiliasi membawa kebaruan dalam diri setiap pribadi untuk menyongsong masa depan yang lebih baik lagi. Rekonsiliasi oh rekonsiliasi!
PJ-SDB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H