Lihat ke Halaman Asli

Hanief Arief

NKRI Mandiri dan Berdaulat

Merindukan Haluan Negara

Diperbarui: 12 Januari 2016   15:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

LATAR BELAKANG

Pergantian pemimpin seringkali di iringi dengan pergantian kebijakan, kondisi ini disebut sebagai penyakit epistimologis. Menurut salah satu pengamat sosial dan pendidikan dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, Tunjung W Sutirto, penyakit epistimologi adalah penyakit yang berkaitan dengan metode atau cara untuk sampai ke tujuan. Selama ini untuk bisa mencapai tujuan tersebut Indonesia selalu terbentur dengan masalah metode. (Okezone 26/12/2014). Tentunya kondisi ini akan berakibat pada tidak sinkronnya antar kebijakan, sehingga tujuan yang diharapkan bisa saja menjadi sulit tercapai karena kebijakannya seringkali berubah-ubah. 

Negara bisa dikatakan unggul apabila bisa menghasilkan kebijakan-kebijakan publik yang unggul. Menurut Nugroho (2015) dikatakan bahwa :

"Keunggulan negara ditentukan oleh kemampuan negara dalam menghasilkan kebijakan-kebijakan publik yang unggul"

Dalam beberapa waktu yang lalu saat rakernas PDIP di Kemayoran juga di singgung tentang kebijakan negara yang tertuang dalam visi-misi negara yang terkesan maju mundur, diatakan oleh Ibu Megawati alam pidato politiknya bahwa : 

"Ganti pemimpin, ganti visi. Lama-lama saya berpikir Indonesia senang dansa. Kapan benar 5 tahun, dia maju. Kapan kurang bener, dia mundur lagi"

Bicara konteks pembangunan nasional harus komprehensif, diikuti dengan kebijakan daerah yang sejalan dengan arah kebijakan nasional. Menarik jika diamati, bahwa dulu orde baru punya namanya GBHN (Garis-garis besar haluan negara) yang kemudian diterjemahkan dalam pelaksanaan Repelita dan pelita 1 thn s.d 5 thn secara metode terlihat jelas dan komprehensif dan terencana dengan matang, sehingga jelas arah tujuan negara dan tahapan-tahapan pencapaiannya. 

Dalam beberapa kesempatan juga disampaikan oleh Emil Salim, bahwa GBHN perlu dihidupkan kembali,dikatakan bahwa arah pembangunan harus jelas, harus ada kontiunitas atau fungsi yang berkelanjutan pada setiap priode kepemimpinan. (Tempo.co16/09/2015).

Pada prinsipnya, konsep perencanaan pembangunan harus terarah, terukur dan tepat pada sasaran, tentunya tidak bisa dibangun pada waktu singkat atau 1 priode kepemimpinan namun lebih dari itu, dibutuhkan perencanaan yang komprehensif mulai dari perencanaan, tahapan-tahapan pelaksanaan, milestones yang tepat sehingga fungsi pemimpin lebih kepada bagaimana mempercepat dan mendorong agar tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dapat berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan. 

MANAJEMEN NEGARA 

Saat ini, lambatnya pembangunan, persoalan infrastruktur, menipisnya lahan pertanian, ruwetnya urusan tenaga kerja bahkan perekonomian dikarenakan kebijakan yang dilahirkan tidak berorientasi pada tujuan namun berbasiskan pada masalah. Kebijakan harus dilahirkan berdasarkan tujuan jangka panjang. Dalam buku Riant Nugroho (2015) yang berjudul Policy Making disinggung mengenai bagaimana kebijakan seringkali dibangun berbasiskan pada masalah bukan berorientasi pada tujuan, sehingga jika Jakarta macet sekarang dikarenakan kebijakan penataan transportasi diserahkan pada mekanisme pasar dan akibatnya saat ini macet dimana-mana dan baru berfikir bagaimana mengembangkan transportasi publik yang ideal. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline