Keputusan Presiden atau Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 tahun1991 yang dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia kepada Menteri Agama diantaranyaadalah KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang terdiri dari tiga buku yaitu bukupertama tentang hukum perkawinan, buku kedua tentang hukum waris, dan bukuketiga tentang hukum wakaf. Kemudian dari keputusan presiden ini lahirlahKompilasi Hukum Islam (KHI).
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan kodifikasi hukum islampertama di Indonesia dan keberadaannya berdasarkan Keputusan Presiden (Inpres)Nomor 1 tahun 1991. Keputusan Presiden tersebut kemudian dilanjutkan dengankeputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebenarnya merupakan respon pemerintah terhadapputusan pengadilan agama yang berbeda atas kasus yang sama sehingga menimbulkanberbagai kerusuhan di masyarakat. Karena itu, muncul suatu gagasan mengenaiperlunya suatu hukum positif yang dirumuskan secara sistematis sebagai landasanrujukan bagi hakim agama dan sebagai langkah awal untuk mewujudkan kodifikasihukum nasional.
Kehadiran KHI merupakan aspek politik hukum islam yang memungkinkanterbentuknya kesatuan dan kepastian hukum berdasarkan waf of life atau theliving law dan falsafah hidup yang dirumuskan di dalam pasal-pasalKompilasi Hukum Islam.
Dikarenakan KHI telah digunakan sebagai hukum materildalam menerima, menyelidiki, dan mengadili kasus-kasus dibawah yuridiksi, olehkarena itu sifatnya mengikat para pihak yang berperkara di Pengadilan Agama.
Kebanyakan orang Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Kenyataannyatelah melahirkan cita-cita pembentukan hukum nasional yang menjawab cita-citabatin dan kesadaran hukum mayoritas rakyat Indonesia. Ajaran Islam memilikipengaruh yang besar terhadap gagasan kemerdekaan dan perkembangan hukun bangsaIndonesia.
Pertumbuhannya terlihat jelas sebagai kontribusi hukum islamterhadap kehidupan hukum dalam penyelenggaraan negara, ketatanegaraan, sosialpolitik, dan lainnya.
Politik hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila menuntutpengembangan kehidupan beragama dan hukum agama dalam kehidupan masyarakatIndonesia. Dalam teori Frederick Julius Stahl Hazzalin yang dikembangkan olehTahrir Azali menunjukkan bahwa hubungan antar agama, hukum, dan negara itusaling terkait.
Sebagai negara hukum dengan tuntutan hukum pancasila di masadepan, teori ini dapat dijadikan sebagai teleskop untuk melihat Negara RI yangberdasarkan hukum dan berdasarkan falsadah pancasila, melindungi agama danpemeluknya, bahkan berupaya mengintegrasikan hukum dan ajaran agama ke dalamkehidupan bernegara.
Banyak partai politik yang mengkritik keberadaan KHI hanyaberdasarkan keputusan presiden. Berdasarkan teori stufenbaw yang mengajarkantentang hierarki legislatif, dan UU No.10 tahun 2004 tentang peraturanperundang-undangan, sangat jelas betapa rendahnya hierarki KHI sebagai hukum materilperadilan yang memiliki asas juducial independence (kemerdekaanyudisial).
Namun pilihan tersebut tidak lepas dari konfigurasi politik yangmeliputi kelahiran KHI sebagai implementasi UU No.7 tahun 1989 tentangPeradilan Agama. Konfigurasi politik ini memiliki relevansi yang kuat denganpolitik hukum pemerintah saat itu dengan memakai Inpres sebagai landasan yuridisKHI yang dijadikan sebagai hukum materil di Peradilan Agama.
Kelompok Orde Barudikenal memiliki sikap politik yang otoriter terkait dengan pengaruh hubunganantara umat Islam dan negara. Sedangkan kelompok penguasa cenderung menaruhkecurigaan kepada umat Islam.
Sebenarnya jika realitas konfigurasi politik pada waktu itukondusif dan akomodatif terhadap hukum islam tentu dasar hukum KHI bisa lebihtinggi dari Inpres. Sebagaimana kaidah hukum islam yang mengatakan “Kalau tidakdapat seluruhnya jangan dibuang semuanya” maksudnya meski Inpres sebagai dasarhukum KHI belum bisa memanifestasikan seluruh keinginan politik hukum islamsetidaknya Inpres tetap memiliki dasar normarif dan landasan konstitusionaldalam tata hukum nasional.
Oleh karena itu, keberadaan KHI yang berdasarkanInpres tetap diperlukan sambil berusaha menciptakan kondisi politik yangmemungkinkan untuk meningkatkan payung hukum materil Peradilan Agama yang kebihkuat seperti Undang-Undang.
Sebab jika kondisi lebih kondusif dan akomodatif bagipelaksanaan hukum Islam maka perubahan hukum dasar KHI menjadi semakin terbuka.Sebagaimana kaidah hukum islam “perubahan sebuah fatwa tergantung kepadaperubahan zaman, keadaan dan kehidupan masyarakat itu sendiri”.
Dan kedudukan KHI telah diakui oleh negara berdasarkan Inpres No 1tahun 1991 maka statusnya sudah menjadi hukum nasional yang berlaku bagimasyarakat islam Indonesia dan menjadi pedoman hakim agama di pengadilan agamadalam setiap menyekesaikan kasus hukum terhadap orang-orang Indonesia yangberagama Islam.
Selain itu dapat dibuktikan secara politis bahwa keberadaan KHImerupakan bagian dari kebijakan politik hukum pemerintahan Orba yang berusahamengadakan pembaharuan di bidang hukum melalui kodifikasi dan unifikasi hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H