Lihat ke Halaman Asli

Hania Maulina

Mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

Pundi Rupiah di Kalangan Psikopat Monyet

Diperbarui: 30 November 2022   19:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penelitian yang berjudul Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) mengungkapkan bahwa hampir 5,5% penduduk Indonesia diduga memiliki gangguan mental yang didominasi oleh remaja. Hal tersebut mengacu pada Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM-V), Gangguan mental adalah kondisi kesehatan yang memengaruhi pemikiran, perasaan, perilaku, juga suasana hati. Kondisi gangguan mental dapat berlangsung singkat ataupun dalam jangka waktu yang panjang. Salah satu perilaku yang disebabkan oleh gangguan mental yaitu psikopat. Psikopat atau biasa disebut dengan psycho tentunya bukan hal yang sepele. Psikopat ditandai dengan kontrol perilaku yang buruk dan kurangnya rasa empati yang dimiliki. Perilaku ini dapat menyebabkan sikap antisosial, kriminal, bahkan kekerasan, baik kekerasan pada diri sendiri maupun orang lain. Seseorang yang mengidap psikopat akan merasa senang setelah melakukan pelanggaran aturan, seperti melukai seseorang atau bahkan membunuh.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ahli psikopat dunia yang bernama Robert D. Hare terdapat 1% penduduk dunia yang tercatat mengidap psikopat, namun tidak sedikit pengidap lain yang belum tercatat dikarenakan minimnya tindakan hukum dalam menangani kasus ini. Banyak sekali kasus psikopat yang telah terjadi di luar negeri, juga di Indonesia sendiri. Mayoritas pengidap psikopat akan merasa puas setelah menyakiti sesama manusia. Tidak sedikit pengidap psikopat yang melakukan tindakan pembunuhan. Motif tindakan pembunuhannya pun berbeda-beda, mulai dari pembunuhan tunggal, berantai, hingga mutilasi baik direncana maupun tidak. Usai melakukan tindakan tersebut, para pelaku biasanya menjual organ tubuh korban yang dibunuh demi mendapatkan penghasilan. Selain kepuasan karena tindakan penyiksaan atau pembunuhan, tak jarang pengidap psikopat melukai dirinya sendiri hingga melihat darah yang mengalir dari tubuhnya. Anehnya, ia tidak merasa kesakitan, melainkan timbul rasa senang dan puas setelah melakukan tindakan tersebut.

Psikopat Sebagai Ladang Rupiah

Pada pertengahan tahun 2022, Indonesia sempat digemparkan oleh pemuda inisial A asal Tasikmalaya. Ia menjadi salah satu pengidap psikopat yang tidak biasa terjadi di negeri tercinta kita ini. Berbeda dengan kasus menggemparkan Indonesia yang dilakukan oleh Sumanto Indonesia pada tahun 2013 lalu. Pemuda berinisal A ini diduga mengidap gangguan mental psikopat yang tidak wajar, karena tindakan psikopatnya tidak tertuju pada manusia, melainkan hewan. "Psikopat monyet" itulah sebutannya, ia melakukan penyiksaan terhadap monyet ekor panjang yang dipeliharanya hingga mati. Tak disangka, tindakan tersebut ternyata sudah berlangsung sejak lama. Tindakan yang dilakukan tak hanya untuk memuaskan keinginan pribadi, tapi juga memuaskan keinginan orang lain hingga mendapatkan keuntungan.

Sebagai remaja tentu sangat tidak terima dengan penghasilan yang dihasilkan dari konten-konten tidak bermanfaat, apalagi mengandung unsur penyiksaan atau penghilangan nyawa. Para pemuda yang sedang menikmati pekerjaan freelance dengan menjadi content creator di media sosial bersusah payah dan berusaha agar isi konten dapat bermanfaat dan diterima oleh khalayak yang tentunya ada harapan sebuah penghasilan yang diimpikan dari hasil konten tersebut. Tak jarang siswa bangku sekolah bahkan mahasiswa pun terlibat dalam profesi.  content creator dan berharap mendapatkan uang jajan harian tambahan dari media sosial. Berdasarkan pengamatan dari Social Media Animal Cruelty Coalition (SMACC) pada akhir tahun 2021 terdapat 5480 video penyiksaan hewan yang di posting melalui media sosial. Ternyara sekitar 29.67 % dari jumlah konten tersebut berasal dari Indonesia dan hampir 90% konten berasal dari platform media YouTube. Bagaimana bisa para psikopat monyet mendapatkan penghasilan yang hampir bahkan melebihi dari penghasilan content creator pada umunya?

Tidak hanya memuaskan hasrat pribadi, hasil tindakan psikopat ini diperjualbelikan kepada orang lain. Tindakan ini tidak berjalan sendiri, para psikopat monyet ternyata memiliki sebuah komunitas yang terkoordinir melalui platform media online seperti aplikasi whatsApp atau telegram. Perdagangan yang dilakukan oleh psikopat monyet ini dapat menghasilkan rupiah dengan cara membuat konten sadis yang disebarkan melalui media sosial seperti facebook misalnya. Bahkan pelaku sudah memiliki langganan pembeli konten pada grup-grup komunitas psikopat hewan di kawasan lokal maupun luar negeri. Tindakan yang dilakukan yaitu membuat konten video penyiksaan monyet sesuai dengan permintaan pelanggan. Pendapatan yang dihasilkan dari satu video bernilai ratusan ribu rupiah bahkan jutaan, tergantung proses tindakan yang diminta oleh pelanggan. Uang yang dihasilkan oleh psikopat monyet ini hampir setara dengan content creator di negara kita. Meski begitu, pemuda pembuat konten sadis monyet ini tak jarang memanfaatkan kesempatan yang ada. Video yang dibuat sesuai permintaan konsumen akan dijual kembali kepada orang lain. Padahal pada perjanjian yang mereka lakukan video tersebut hanya boleh dikirim ke satu konsumen saja. Tak lain hal ini bertujuan agar keuntungan lebih banyak didapatkan dengan mengurangi tenaga dan usaha membuat konten.

Setelah kasus ini diusut beberapa waktu lalu, terbongkarlah sistem koordinasi komunitas psikopat  hewan yang ada di Indonesia. Warga Tasikmalaya berinisal A tadi terlibat dalam bagian Video Operator (VO) atau sebagai pemasok video konten sadis terhadap monyet. Sedangkan konsumen dan distributor video konten ini berasal dari luar negeri yang didominasi oleh warga Amerika Serikat. Para anggota komunitas psikopat hewaan ini akan merasa puas dan bergairah setelah menonton konten sadis penyiksaan hewan khususnya monyet.

Dapat dikatakan bahwa gangguan mental merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri. Meski sudah ada bagian untuk menangani hal tersebut, tetap saja terdapat kekurangan dalam mengatasi pengidap gangguan mental. Cukup banyak masyarakat Indonesia yang mengidap gangguan mental khususnya tindakan psikopat ini yang tidak memeriksakan atau melaporkan diri ke petugas setempat. Oleh karena itu masih seringkali terjadi tindakan penyiksaan sesama manusia atau bahkan hewan yang belum sempat ditangani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline