Lihat ke Halaman Asli

Tri Wahyu Handayani

menulis untuk kebaikan

Memahami Ekofeminisme Dalam Gerak Perempuan untuk Kehidupan yang Lestari

Diperbarui: 24 April 2022   23:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mendengar kata feminisme mungkin yang terlintas adalah demo atau gerakan sosial dari para perempuan untuk kesetaraan gender dan kebebasan dalam segala hal. Bahkan sering disalah artikan sebagai ideologi yang membenci laki-laki.

Bagaimana dengan ekofeminisme?

Paparan dan pengertian tentang ekofeminisme saya baru dengar dalam suatu acara webinar yang diadakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, dalam rangka Hari Kartini, Hari Bumi, dan Hari Tari.

Tiga peristiwa sekaligus di bulan April yang semuanya bersinggungan dengan perempuan. Kebetulan webinar ini juga diisi oleh 3 perempuan hebat yaitu Antik Bintari, Ramalis Sobandi, dan Saras Dewi.

Webinar dengan judul 'Gerak Perempuan untuk Kehidupan yang Lestari', Sebuah pendekatan Ekofeminisme.

Dalam budaya keseharian perempuan seringkali dikaitkan dengan persoalan keindahan, baik dalam pandangan umum maupun dalam lingkaran perempuan itu sendiri. Mengikuti berbagai gelombang kebudayaan, ‘kecantikan’ atau persepsi keindahan pada perempuan pun turut berevolusi.

Perempuan dan Lingkungan

Sesi pertama webinar disampaikan oleh Antik Bintari, seorang dosen FISIP UNPAD, yang dengan kerenyahannya mempertanyakan, seberapa cantik lingkungan menilai seorang perempuan.

Konsep kecantikan menurut Antik, terbagi menjadi dua paradigma tradisional dan modern. Paradigma tradisional menempatkan perempuan dari sudut pandang budaya yang dikenalkan secara turun-temurun. Kita lihat di pelosok Kalimantan ada suku Dayak yang perempuannya mempunyai kebiasaan bertelinga panjang. Mereka ini memasang logam pada cuping telinganya sehingga menggelambir. Semakin panjang maka semakin cantik.

Sedangkan paradigma modern, standar kecantikan dibawa oleh jenama produk kecantikan dan perawatan wajah. Maraknya iklan, media online, dan media sosial, semakin menggusur berbagai nilai budaya di seluruh pelosok negeri.

Bahwa nilai kecantikan menjadi sama, kulit putih dan mulus bak artis Korea.

Padahal Antik Bintari di akhir paparannya justru menentang adanya konsep kesamaan tersebut. Perempuan harus mempunyai kebebasan untuk memaknai potensi dirinya masing-masing. Cantik adalah bebas dari diskriminasi, penindasan, dan eksploitasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline