Lihat ke Halaman Asli

Hani La Shifa

Mahasiswa

Analogi Hujan (Ku)

Diperbarui: 28 Mei 2018   13:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kembali menganalogi hujan dalam refleksi diri. Kali ini hujan datang, menghadangku tepat sebelum aku melangkah pada sebuah persimpangan. Mengulurkan rinainya dan membujukku mengasihani diri dengan balutan kasih sayang. Kemudian hujan menggenggamku, membawaku menari bersama. Ku sebut itu tarian hujan. Senang sekali, ia membawa angin yang meniupkan semilir tawa, membawa dingin untuk pudarkan rindu lalu. Hujan membuatku bahagia, saat itu. Bahkan yang aku rasa lebih dari sekedar bahagia. Aku tak tahu.

Namun ketika tiba di persimpangan lain hujan pergi. Meninggalkan kuyup yang meneteskan pedih, menyisakan angin dan dingin yang kini kian menghakimiku dengan rindu. Apa salahku? Apakah tarianku kurang indah? Ataukah tawaku tak renyah?  Atau... entahlah, bukan itu yang kusesali. Namun penyesalanku bermuara pada alunan dan persimpangan yang menjumpakanku dengannya.

Mengapa kita tidak mencoba bersahabat dengan kata "berpisah" selayaknya kita mengagungkan kata "jumpa"? Mengapa kita mengingkari rindu yang kadung membekas? Mengapa kita memilih untuk mengakui bahwa semuanya tak pernah terjadi? Tak mampukah kita mendewasa dengan tetap berkawan meski jalan kita tak lagi sama?

Aku (masih) termenung disini, pada persimpangan kali pertama kita berjumpa. Jika suatu saat hujan tiba, aku tidak akan membiarkan raga ini melangkah pada persimpangan dimana kita pernah berpisah. Kan kucari pesimpangan lain bernama "bersama", agar aku dapat terus menari dengan hujan. Meskipun harus berkali-kali tersimpuh pada genangan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline