Lihat ke Halaman Asli

"Something Wrong With My Face?"

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dengan banyaknya tindakan polisi menembaki rakyat akhir-akhir ini--paling aktual adalah peristiwa di Bima, bertambah yakin saya ada yang salah di lembaga tersebut. Dalam momen serupa ini sepatutnya polisi, baik sebagai institusi maupun sebagai individu, bertanya seperti Tukul, "Something wrong with my face?"

Yakin seyakin-yakinnya, pertanyaan itu serta-merta dijawab bak paduan suara oleh seluruh rakyat, "Yes, there is!" Kita tidak tahu apakah polisi punya cukup nyali bertanya begitu. Ya, mengajukan kalimat tanya itu bukannya tanpa risiko. Risiko yang pasti adalah mendengar kur "Yes, there is!" itu. Ini bukan sekadar mendengar rentetan bunyi biasa karena kita maklum polisi sudah biasa mendengar bebunyian, termasuk rentetan bunyi tembakan.

"Yes, there is!" adalah rentetan bunyi bahasa, yang dalam saat sekarang jauh lebih tajam dari peluru. Berbeda dengan Tukul, yang bertanya secara retoris sehingga sudah siap benar mendengar jawabannya, telinga polisi tampak belum siap mengakui noda hitam di wajahnya. Penjelasan yang disampaikan dan video yang dirilis Humas Polri menegaskan keangkuhan untuk mengakui kesalahan, dengan mencolok-colokkan kesalahan rakyat.

Jika Polri enggan introspeksi demikian itu, harapan kita bergantung pada boss-nya, yakni SBY, dan para wakil kita di DPR. Presiden dan DPR menanggung kewajiban untuk memaksa polisi berani bertanya, "Something wrong with my face?", mendengar "Yes, there is!", dan melakukan perombakan dasariah.

Sebenarnya, di manakah sumber noda di wajah polisi kita? Apa persisnya kesalahan dalam tubuh Polri--kesalahan yang berbuah berjatuhannya nyawa orang kecil di negeri ini? Kesalahan yang terus-menerus membuat polisi terasa sekali tidak berdiri di pihak yang lemah modal, lemah hukum, lemah kekuasaan.

Barangkali kita tidak bisa hanya menunjukkan satu kesalahan karena hal itu terasa kelewat menyederhanakan masalah. Namun, salah satu di antaranya pastilah terletak di dalam pendidikan polisi.

Pemerintah dan DPR lebih baik mengatasi kelemahan polisi ini secara mendasar, dengan meninjau ulang kurikulum dan pelaksanaan pembelajaran di lembaga pendidikan kepolisian. Kita harus mengevaluasi kurikulum pendidikan polisi. Kurikulum yang tepat tentunya kurikulum yang tidak hanya memaktubkan tujuan-tujuan psikomotorik, tapi juga secara seimbang memperhatikan kompetensi kognitif dan afektif lulusannya.

Dalam bingkai itu, kurikulum tersebut harus mengedepankan pendidikan watak. Sangatlah tidak masuk akal ketika seluruh jenjang dan jenis pendidikan di bawah Kementerian Pendidikan Nasional dan Departemen Agama memasukkan pendidikan watak sebagai bagian utuh kurikulum, masih ada lembaga kependidikan yang tidak melakukan hal yang sama. Padahal pendidikan polisi jelas membutuhkannya.

Selanjutnya, pemerintah juga mesti memantau pelaksanaannya. Apakah kurikulum seperti itu dilaksanakan dengan tepat? Sebab bukan rahasia lagi, di negeri tercinta ini acapkali ada kesenjangan antara teori dengan praktik.

Oleh karena itu, sudah saatnya lembaga kependidikan polisi dibantu, disupervisi, oleh mereka yang pakar di bidang kependidikan dan pembelajaran dan itu hanya ada di Kemdiknas. Para pakar di kementerian tersebut memiliki kewajiban moral dan profesional untuk ikut-serta membangun polisi yang--selain profesional--berwatak luhur.

Kita berharap polisi bangkit nyalinya untuk bertanya, "Something wrong with my face?", bernyali mendengar "Yes, there is!", dan kemudian menukas dengan kesatria seperti Tukul, "Tengyu! Tengyu!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline